Right to be Forgotten sebagai perlindungan bagi korban KBGO dalam UU TPKS

HopeHelps UGM
7 min readJun 10, 2022

--

KBGO merupakan singkatan dari kekerasan berbasis gender online yang terjadi di ruang siber atau difasilitasi teknologi. Sepanjang 2021, SAFEnet menerima 677 aduan KBGO dari kanal-­kanal aduan dan komunikasi yang dimiliki, seperti formulir aduan, hotline, email, dan rujukan dari Komnas Perempuan.

Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020 disebutkan bahwa ada peningkatan jumlah KBGO di Indonesia. Peningkatan jumlah kasus KBGO sejak pertama kali KBGO dilaporkan dalam Catahu Komnas Perempuan pada tahun 2018. Pada tahun 2018, Komnas Perempuan menyebutkan sejumlah 97 kasus KBGO, pada tahun 2019 kemudian disebutkan sejumlah 281 kasus, dan meningkat menjadi 940 kasus di sepanjang tahun 2020. Kecenderungan yang sama ditemukan dalam laporan Lembaga Layanan mitra Komnas Perempuan yang menemukan 126 kasus KBGO pada tahun 2019, dan meningkat menjadi 510 kasus KBGO pada tahun 2020.

KBGO merupakan permasalahan yang serius di era digital ini. Sebelum adanya UU TPKS, ada kekosongan hukum terkait pengaturan KBGO di Indonesia karena hanya berorientasi pada KUHP, UU ITE dan UU Pornografi yang mana dalam aturan tersebut hanya berorientasi pada pelarangan pelanggaran kesusilaan, yang dilindungi adalah moralitas publik, bukan integritas tubuh dan data pribadi seseorang serta dapat menimbulkan kerentanan bagi korban KBGO untuk dituntut balik. UU TPKS hadir bak angin segar bagi para korban KBGO karena memberikan hak-hak dan perlindungan yang dibutuhkan oleh korban KBGO.

Jenis-Jenis KBGO

Bentuk-bentuk pelecehan berbasis elektronik atau KBGO ada beraneka ragam seperti:

  1. Online Surveillance/ Cyber Stalking/ Stalking and Monitoring (Penguntitan)

Penguntitan melibatkan insiden berulang, yang mungkin secara individual merupakan tindakan yang tidak berbahaya, tetapi gabungan tindakan dapat melemahkan rasa aman dan penyebab korban kesusahan, ketakutan atau terintimidasi. Tindakan yang dilakukan dapat berupa mengirimkan pesan yang menyinggung/mengintimidasi atau mengirimkan konten intim seseorang secara berulang oleh satu orang. Selain itu, penguntitan juga dapat dilakukan dengan Melacak lokasi korban atau memasang fitur penguntitan (stalkerware) di perangkat korban.

2. Cyber harassment/ Harrasment/ Networked harassment (Ancaman perkosaan atau kematian)

Berbagai komunikasi digital yang tidak diinginkan, bisa dalam bentuk serangan singkat dari suatu insiden, seperti satu target komentar rasis atau seksis atau jangka panjang dan serangan terorganisir. Hal ini dapat berupa mengirimkan email atau pesan bernuansa seksual tanpa persetujuan, Advance yang tidak senonoh dalam website sosial atau pada chat rooms, Ancaman kekerasan fisik ataupun seksual melalui email ataupun pesan personal, ujaran kebencian (hate speech).

3. Image-Based Sexual Abuse/ non-consensual distribution of intimate images/ Non-consensual pornography (lebih dikenal dengan sebutan revenge porn) / Malicious Distribution

Distribusi online foto atau video yang menggambarkan seksualitas tanpa izin/ persetujuan dari individu dalam gambar/konten, atau berupa distribusi gambar intim tanpa persetujuan (biasanya oleh mantan pasangan intim korban). Sedangkan sexting adalah pemasangan gambar telanjang, yang biasanya dikirimkan melalui pesan teks.

4. Voyeurism/creepshots

Merupakan tindakan mengambil foto atau merekam video orang lain secara diam-diam untuk tujuan seksual yang dilakukan menggunakan kamera tersembunyi, misalnya berupa peletakan kamera di tempat pribadi seperti toilet, kamar ganti ataupun fasilitas pribadi di ruang publik lainnya. Sedangkan Creepshots merupakan pengambilan gambar seseorang untuk dipublikasikan ke publik untuk dilihat dan dikomentari untuk mempermalukan atau melakukan seksualisasi pada orang dalam gambar tersebut.

5. Sexploitation

Merupakan tindakan mendistribusikan konten intim tanpa persetujuan korban pada website yang dioperasikan untuk berbagi konten intim dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.

6. Sextortion (pemerasan seksual)

Merupakan tindakan memaksa seseorang melakukan sesuatu secara paksa melalui ancaman dengan memiliki, atau mengklaim memiliki, konten seksual orang lain.

7. Synthetic Media/Morphing (Media Buatan)

Merupakan kegiatan membuat gambar atau rekaman video seksual sintetis/palsu/buatan untuk menempatkan wajah seseorang di atas tubuh yang bercitra seksual.

8. Public Disclosure of Private Information/ Doxing

Merupakan kegiatan menyiarkan ke publik informasi pribadi seseorang untuk merendahkan, melecehkan dan merusak reputasi mereka. Pada praktiknya doxing telah sering dilakukan untuk mengintimidasi korban dengan mendorong orang-orang dalam media online untuk melecehkan korban, membuat korban takut akan dilecehkan atau disakiti secara langsung.

9. Defamation and Misrepresentation (Penghinaan dan fitnah)

Merupakan suatu publikasi berbahaya dan menyesatkan tentang suatu informasi tidak pantas/senonoh yang dapat merusak reputasi seseorang, terlepas dari kebenarannya.

10. Impersonating/ meniru identitas orang

Merupakan kegiatan membuat akun online palsu atas nama seseorang untuk menyebarkan informasi palsu dan merusak reputasi orang yang mereka tiru, merusak kehidupan pribadi dan pekerjaan orang tersebut. Impersonating juga dapat bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai korban dengan cara menyamar menjadi orang lain.

11. Hacking (peretasan)

Merupakan tindakan menggunakan teknologi untuk mendapatkan akses ilegal atau tidak berizin ke sistem atau sumber daya untuk tujuan memperoleh informasi pribadi, mengubah atau memodifikasi informasi, atau memfitnah dan merendahkan korban termasuk menyalahgunakan kata kunci (password), mengontrol fungsi komputer, seperti pembekuan komputer atau keluar (logout).

12. Cyber grooming atau kekerasan berbasis gender online terhadap anak

Cyber Grooming merupakan bentuk KBGO terkait kekerasan seksual terhadap anak. Bentuk KBGO ini sering terjadi kepada anak, dengan cara membangun pertemanan dan membangun hubungan emosional dengan anak, untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak, atau eksploitasi seksual lainnya.

Pengaturan KBGO Dalam UU TPKS

Jenis-jenis kekerasan berbasis gender online dalam UU TPKS dijabarkan dalam pasal 14 ayat (1) dalam tiga makna, yakni melakukan perekaman atau pengambilan gambar tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, dan melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual. Jenis-jenis KBGO tersebut muncul dari pertimbangan atas bentuk-bentuk lain yang telah tercakup di UU ITE ataupun UU pornografi. “Dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta,” Namun bila perbuatan yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya, seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ancaman hukuman bisa diperberat. “Dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 300 juta.”

Perlindungan korban KBGO dalam UU TPKS

Dalam konteks perlindungan Korban, kasus pelecehan seksual berbasis gender online melanggengkan bentuk kekerasan terhadap Korban dalam lingkungan dunia maya. Adanya bentuk perlindungan hukum yang perlu dijamin dari korban KBGO tersebut adalah pemenuhan hak untuk dilupakan (right to be forgotten), yaitu adanya penghapusan atribut korban dan informasi pribadi Korban yang telah menyebar dalam jaringan dunia maya sebagai bagian dari penuntasan rantai kekerasan seksual (Pane,2020). Bentuk perlindungan Korban KBGO dalam UU TPKS dijabarkan dalam pasal 46 ayat (1) dan (2) yang memberikan penjaminan dari wewenang pemerintahan pusat untuk memutus akses dan/atau menghapus dokumen elektronik berisi konten kekerasan seksual, bersamaan dengan pasal 47 yang menjamin pengambilan sikap dari jaksa yang mampu meminta pengadilan negeri untuk memerintah kementerian bidang komunikasi dalam melakukan pemutusan dan penghapusan dokumen elektronik tersebut. Penjaminan hak tersebut lalu disebutkan kembali dalam pasal 68 yang membahas mengenai perolehan hak Korban terhadap penanganan kasus (dalam poin g.), senada dengan pasal 70 mengenai pemenuhan hak Korban terhadap proses pemulihan kasus (dalam poin l.) sama-sama berbunyi “hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik.”

Menilik konsep Right to be forgotten di negara lain

Right to be forgotten mulai mencuat kembali ke publik pada tahun 2010, yaitu saat salah seorang warga Negara Spanyol bernama Mario Costeja Gonzales melayangkan gugatan melawan surat kabar Spanyol, La Vanguardia, dan Perusahaan Google. Gonzales menilai hasil pencarian atas namanya pada mesin pencarian Google tidak tepat karena merilis peristiwa pada masa lalu terkait kepemilikan hutang dan berita pelelangan rumah miliknya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, European Court of Justice (ECJ) pada 2014 memutuskan untuk mengabulkan permintaan Gonzales dengan berdasarkan pada Pasal 4.1 Data Protection Directive 95/46/EC, yang kemudian dikenal dengan istilah Right to be Forgotten.

Right to be Forgotten memiliki keterkaitan yang erat dengan data privasi, hal ini dapat terlihat dalam Pasal 40 Undang-Undang Privasi Perancis 1978 yang menetapkan prinsip utama dari Right to be Forgotten dengan menggambarkan tujuan Right to be Forgotten adalah untuk menjadi sarana bagi subjek data untuk meminta pengontrol data agar dapat memperbaiki, melengkapi, memperbaharui, mengunci, atau melakukan penghapusan data pribadi yang berkaitan dengan subjek data, dan diketahui bahwa data tersebut tidak lagi akurat, ambigu, kedaluwarsa atau pengumpulan, penggunaan dan penyimpanan data tersebut terlarang. Berdasarkan European Commision, Right to be Forgotten ini bertujuan untuk membantu individu agar lebih baik dalam mengelola resiko terkait perlindungan data onlinenya dengan memungkinkan dilakukannya penghapusan informasi jika tidak terdapat alasan yang sah untuk menyimpannya, atau secara sederhana dapat digambarkan bahwa Right to be Forgotten merupakan solusi yang cemerlang bagi seseorang yang ingin menghapus informasi mengenai dirinya yang dinilai berbahaya atau memalukan dari hasil pencarian pada internet. Right to be Forgotten dinilai memberikan perubahan positif dalam hukum dan kebijakan pada dunia maya, karena meningkatkan kontrol individu atas informasi pribadi serta mengembalikan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan privasi di era digital.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya konsep ini bukan merupakan konsep baru karena telah hadir dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016/UU ITE yang mana disebutkan bahwa menjadi kewajiban penyelenggara sistem elektronik untuk menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/ atau data elektronik yang sudah tidak relevan serta wajib melakukan penghapusan informasi elektronik dan/atau data elektronik berdasarkan penetapan pengadilan.

Sanksi bagi pelaku KBGO dalam UU TPKS

Sanksi bagi pelaku KBGO telah di atur oleh UU TPKS yaitu dalam pasal 14. Pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa hak melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Selain itu dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa apabila perbuatan yang disebutkan dalam pasal (1) dilakukan dengan maksud untuk melakukan: pemerasan atau pengancaman, pemaksaan; menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang untuk melakukan, membiarkan melakukan atau tidak melakukan sesuatu maka ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Kesimpulan

KBGO merupakan salah satu tindak pidana kekerasan seksual yang marak terjadi di era digital ini, bentuk KBGO pun ada beragam. Salah satu tantangan dari KBGO adalah jejak digital yang sulit dihapus. Namun, saat ini dalam UU TPKS telah dijamin hak untuk dilupakan (right to be forgotten) yang dapat diakses oleh korban KBGO. Hal ini merupakan salah bentuk komitmen negara untuk melindungi warga negaranya dari tindak kekerasan seksual berbasis elektronik di era digital ini.

Referensi

Antoon De Baets. 2016. A Historian’s View on the Right to be Forgotten. International Review of Law. Computer & Technology. Volume 30 Nomor 1–2.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020

Eugnia Politou. et.al. 2018. Forgetting Personal Data and Revoking Consent under the GDPR: Challenges and Proposed Solutions. Journal of Cybersecurity.

Robert C Post. 2018. Data Privacy and Dignitary Privacy: Google Spain, The Right to be Forgotten, and the Construction of the public Sphere. Duke Law Journal Volume 76.

Safe Net Indonesia. 2021. Jauh dari Panggang Api: Menilik Kerangka Hukum Kekerasan Berbasis Gender Online di Indonesia.

Susanna Lindroos and Hovinheimo. 2016. Legal Subjectivity and the ‘Right to be Forgotten’: A Rancierean Analysis of Google. Law and Critique Volume 27 Issue 3.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Pane, B. (2020, January 2). The Right to be Forgotten Amidst (in the Time of) Digital Eternity. Retrieved May 28 from https://www.balairungpress.com/2020/01/the-right-to-be-forgotten-amidst-in-the-time-of-digital-eternity/.

(Tim Penulis: Dwi Rizky Atiqah, Gantar Eliezer Sinaga, Isabella Valentine, Rifda Galela)

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451