Rape Culture dan Peran Media

HopeHelps UGM
7 min readJul 3, 2021

--

Budaya Perkosaan

Budaya pemerkosaan atau yang lebih kerap disebut rape culture, secara umum dipahami sebagai budaya di mana kekerasan seksual diperlakukan sebagai norma dan korban disalahkan atas serangan atau kekerasan seksual yang mereka alami. Budaya pemerkosaan ada dalam masyarakat atau lingkungan di mana kepercayaan sosial, sikap dan moral menormalkan kekerasan seksual, mendorong orang untuk mengasosiasikan seks dengan kekerasan, dan meminimalkan keseriusan kekerasan seksual (Wright, 2015). Dalam budaya pemerkosaan, kekerasan seksual diterima, dibenarkan dan tidak cukup ditentang oleh masyarakat (Field, 2004). Hal ini tidak hanya semata-mata hanya berkaitan dengan kekerasan seksual, namun juga tentang norma dan institusi budaya yang melindungi pemerkosa, mempromosikan impunitas, mempermalukan korban, dan memaksa perempuan untuk melakukan pengorbanan yang tidak masuk akal untuk menghindari kekerasan seksual.

Rape culture menempatkan beban akan keamanan dan keselamatan di pundak perempuan dan menyalahkan mereka pula ketika gagal mencapai keamanan dan keselamatan mereka, memaksa perempuan untuk kemudian mengorbankan kebebasan dan berbagai kesempatan untuk mendapatkan keamanan tersebut–pengorbanan yang hanya perlu dilakukan perempuan. Ketika kemudian perempuan melepaskan berbagai peluang sosial dan ekonomi untuk mendapat keamanan, hal ini berujung pada potensi dan kemajuan diri yang tidak tercapai dan pada akhirnya kemajuan masyarakat yang tidak tercapai. Salah satu aspek yang kerap luput dari diskursus agenda melawan rape culture adalah bagaimana gambaran dari institusi-institusi yang mampu membentuk opini dan empati publik akan isu ini turut memainkan peran yang krusial. Meskipun tampaknya hal ini tidak berkorelasi langsung sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual, rape culture yang dinormalisasi dalam kultur reportase tentu memiliki berbagai implikasi yang melanggengkan budaya perkosaan.

Media Berperan dalam Melanggengkan Budaya Perkosaan

Media merupakan sekutu penting dalam wadah demokrasi, karena tidak hanya memberikan akses terhadap informasi tetapi para jurnalis ini juga menyandang kekuatan untuk mengangkat berbagai topik di ruang publik dan memicu diskursus. Tentunya ini bertujuan untuk membuat perubahan positif dalam masyarakat. Kapasitas yang dimiliki media ini juga sudah seharusnya mereka mengemban standar etika ketika melakukan peliputan terkhusus dalam kasus kekerasan seksual, mengenai cara agar bisa memberikan prioritas terhadap kepentingan terbaik korban dan memastikan martabat korban tetap utuh saat ditampilkan di media.

Seperti yang ditulis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), media memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam perlindungan korban kejahatan seksual. Idealnya, memberitakan tentang kejahatan seksual, perlu diikuti oleh kemungkinan jalan keluarnya, baik bagi orang yang telah menjadi korban maupun bagi usaha pencegahan tindakan pelecehan dan kejahatan seksual lainnya. Maka seharusnya penulisan berita tentang kejahatan seksual diorientasikan kepada usaha menyelamatkan korban, mengurangi jumlah kasus atau memberikan pencegahan tindakan kejahatan seksual. Beberapa media atau jurnalis cenderung tidak memikirkan dampak pembentukan opini yang timbul dari isi konten pemberitaan hingga headline yang dibuat dengan mempublikasikan korban kekerasan seksual, sehingga alih-alih membantu, pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual mengalami trauma hingga diskursus yang memfokuskan bahwa faktor kesalahan terdapat di korban bukan pelaku.

Walaupun Kode etik jurnalistik sudah mengatur tentang pentingnya perlindungan privasi korban kejahatan seksual, yaitu dalam Pasal 5 yang berbunyi

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.

Tetap perlu ada peningkatan standar etika jurnalisme dalam melakukan peliputan kasus kekerasan seksual, dimana tidak hanya merahasiakan identitas tetapi penggunaan tata bahasa dan penggambaran atau framing yang digunakan tidak men-delegitimasi kepentingan korban

Fatal: Media dan Pembangunan Narasi Pelaku dan Korban yang Ideal

Sebuah realita yang disayangkan bahwa sikap dan karakter yang ditunjukkan media massa ketika meliput kejadian maupun kasus yang berkaitan dengan isu kekerasan seksual dan gender belum dapat menunjukkan pengetahuan gender yang mumpuni. Tidak jarang justru kerap sarat tendensi dari rape culture itu sendiri. Beberapa yang acap tampak antara lain adalah objektifikasi dengan menyoroti detail ‘panas’ atau faktor ‘bombastis’ dalam tulisan serta tendensi victim blaming dan framing atau pembingkaian yang lebih berpihak pada pelaku alih-alih korban. Dalam reportase yang melaporkan kejadian kekerasan seksual, kerap kali ditemukan jurnalis yang menjelaskan kronologi dengan tingkat detail yang deskriptif sedemikian rupa, mereduksi korban menjadi semata-mata objek seksual. Korban tentu akan sangat tidak nyaman ketika tragedi dan trauma yang menimpanya justru dibungkus sebagai konsumsi publik dengan menyoroti aspek-aspek seksual dari kejadian tersebut. Selain sangat tidak sensitif terhadap pengalaman traumatis yang dialami korban, hal ini juga menjustifikasi mitos-mitos mengenai perkosaan yang dapat menimbulkan dampak yang lebih melebar lagi.

Burt (1980) mendefinisikan mitos perkosaan (rape myths) sebagai “kepercayaan yang merugikan, stereotipik, atau salah tentang pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pemerkosa” yang kemudian menciptakan “iklim yang tidak bersahabat bagi korban pemerkosaan” (dalam Layman, 2020). Di dalamnya termasuk ide seperti; bahwa perkosaan adalah tentang atau bersumber dari gairah seksual, bahwa semua pelaku pemerkosa adalah laki-laki dan maka dari itu laki-laki tidak dapat menjadi korban perkosaan, bahwa pekerja seks komersial tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual, dan bahwa apabila terjadi kekerasan seksual dan/atau perkosaan hal tersebut disebabkan oleh kelalaian dari korban dalam menjaga diri. Salah satu yang paling membahayakan, sebenarnya, adalah bagaimana media selalu menyoroti kasus-kasus yang dinilai tidak umum dan kebanyakan mengangkat hubungan yang ‘unik’ antara korban dan pelaku padahal secara statistik jauh lebih banyak kasus perkosaan dimana pelaku adalah sosok yang familiar dalam hidup korban–semua masih dalam agenda membuat judul-judul yang menarik perhatian.

Terlihat dalam beberapa kasus yang menjadi sorotan belakangan, seperti dalam judul-judul yang melaporkan kasus pemerkosaan ‘Gadis 16 Tahun Digilir 17 Pria’ atau ‘6 Remaja Sulsel Gilir Bocah 12 Tahun’, atau dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tokoh agama seperti Ustadz atau Pendeta. Perkara pembangunan narasi stereotip pada karakter baik pelaku maupun korban perkosaan ini memiliki dampak yang sama-sama merugikan korban. Ketika jurnalis menciptakan narasi yang membingkai pelaku sebagai orang yang mengerikan atau dapat dibedakan dari orang kebanyakan, hal itu dapat memberikan kesan palsu bahwa pelaku mudah dikenali dan dapat membuat juri skeptis ketika orang yang dituduh melakukan pemerkosaan atau penyerangan seksual tidak sesuai dengan stereotip ini (O’Hara, 2012 dalam Layman, 2020).

Pemahaman victim blaming atau menyalahkan korban diperkuat oleh narasi yang menempatkan bahwa perempuan yang memiliki riwayat seksual sebelumnya, mengonsumsi alkohol, bertindak atau menggunakan pakaian tertentu yang dikaitkan dengan citra ‘bukan perempuan baik-baik’ berarti ‘mengundang’ (asking for it) untuk menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Sebaliknya, narasi ini mengamini bahwa korban yang pantas mendapat empati dan dukungan hanyalah korban yang masuk dalam stereotip karakter ‘perempuan baik-baik’–suci, perawan, dan tidak berdaya. Lerner (1980, dalam Layman, 2020) menjelaskan bahwa salah satu alasan yang memupuk victim blaming adalah bagaimana orang-orang ingin memercayai bahwa di dunia ini terdapat sebuah sistem keadilan–bahwa menjadi korban kekerasan seksual dapat diprediksi untuk kemudian dihindari, bahwa hal buruk akan terjadi pada orang buruk pula. Pemahaman ini membahayakan karena ia mereduksi kemungkinan dan dampak yang dihasilkan aksi kriminal kekerasan seksual acak. Selain itu, pemahaman ini juga berkontradiksi dengan realita bahwa kekerasan seksual dan perkosaan adalah sebuah isu yang kompleks dengan berbagai karakter korban, pelaku, dan keadaan latar yang berbeda-beda sehingga tidak sepantasnya disimplifikasi dan dikotak-kotakkan.

Dari penjelasan diatas, setidaknya ada dua ciri yang bisa ditarik dari tendensi peliputan media, yaitu sensasional dan tidak sensitif gender. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi sifat jurnalistik ini, salah satunya yang prominen adalah alasan ekonomi.

Salah seorang wartawan Tempo mengungkapkan bahwa pemberitaan semacam itu banyak terjadi di media-media online karena media online mempertimbangkankan perolehan hit, SEO friendly, dan google friendly untuk mendapatkan penghasilan. Dengan istilah lain bahwa medan kompetisi media saat ini di Indonesia mulai beralih ke media daring sehingga penggunaan diksi yang populer menjadi senjata ampuh untuk mendapat banyak klik. Lantas mengapa diksi yang sensasional dan tidak sensitif gender adalah diksi yang populer di kalangan masyarakat? Hal ini kembali lagi ke poin pertama yaitu pola pikir masyarakat di Indonesia yang masih menormalisasi budaya rape culture sehingga media memenuhi permintaan daya pikir ini dengan membuat headline dan substansi penulisan yang sesuai dan nyaman untuk dikonsumsi oleh golongan masyarakat itu.

Terlepas dari alasan ekonomi, nilai-nilai patriarki masih bersarang kuat dalam pola pikir para jurnalis dan editor. Hal ini karena teks media tidak pernah hanya menyajikan dunia secara langsung; mereka selalu mewakili realitas sesuai dengan persepsi yang mereka pilih. Realitas dunia yang dihadirkan merupakan hasil konstruksi media yang sengaja dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu berdasarkan pandangannya.(Murtiningsih, 2017) Dalam hal ini bahasa seksis berbasis patriarki sering digunakan oleh para jurnalis dan juga editor dalam cerita pemerkosaan. Contohnya pemilihan kata seperti “digilir” yang memberikan konotasi superioritas pelaku dan bukan merupakan tatanan bahasa yang ramah bagi penyintas kekerasan seksual. Fenomena ini menunjukan kekuatan patriarki masih mendominasi isi berita dan wacana yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal. Media gagal memposisikan perempuan sebagai aktor dengan kapasitas yang dapat dipahami dan kepribadian yang mencolok dalam pemberitaan.

Media seharusnya mempromosikan kesetaraan gender dengan melihat lebih dalam dan memberikan pandangan yang berperspektif gender dalam beritanya. Hal ini dapat dicapai dengan mengharapkan perusahaan media untuk memberikan lokakarya dan pelatihan khusus tentang isu-isu gender kepada para penulis hingga tingkat manajerial, untuk meningkatkan kesadaran akan kompleksitas dalam persoalan gender. Institusi media juga harus memeriksa keseimbangan komposisi pekerja antara jurnalis perempuan dan laki-laki, memberikan mereka pelatihan dan seleksi yang adil dan tepat. Dengan ini diharapkan menempatkan perempuan di posisi pemimpin redaksi untuk menetapkan suara perempuan terwakili secara setara di media.

Tujuan penulisan ini tidak mencoba untuk membuktikan asal muasal budaya rape culture, melainkan ingin menyoroti bagaimana jurnalisme media turut berperan dalam pola stigmatisasi terhadap korban kekerasan seksual. Menyadari kekuatan yang dimiliki kata-kata, bahwa pena sejatinya dapat menjadi pedang, dan bagaimana peran mereka yang sangat ampuh dalam mengamplifikasi narasi dan pola pikir masyarakat luas menjadi pondasi yang harus dibangun untuk menciptakan kultur media dan jurnalisme yang berpengetahuan gender dan berpihak pada korban. Memahami bahwa rape culture adalah sebuah isu yang prevalen dan masih didukung oleh berbagai institusi sosial, kultural, bahkan legal di sekitar kita menjadi alasan yang lebih mendesak lagi untuk media turut berperan serta dalam pemberantasannya, alih-alih menjadi kaki tangan kultur perkosaan ini.

Referensi

Field, R. (2004). Rape Culture. In M. Smith, Encyclopedia of Rape (pp. 174–175). Westport, CT: Greenwood Press.

Layman, K. E., “The Representation of Rape and Sexual Assault Within News Media” (2020). University Honors Theses. Paper 851. https://doi.org/10.15760/honors.872

Wright, S. (2015). Sexual Violence, CRIM 212 Lecture. Victoria University of Wellington.

Murtiningsih et al. (2017) “Representation of Patriarchal Culture in New Media”. Mediterranean Journal of Social Science. (pp. 143–145) Doi:10.5901/mjss.2017.v8n3p143.

Mariani, E., 2018. Seberapa Rinci Wartawan Bisa Menulis Berita Pemerkosaan9? — Remotivi. [online] Remotivi.or.id. <https://www.remotivi.or.id/amatan/495/seberapa-rinci-wartawan-bisa-menulis-berita-pemerkosaan> [Diakses pada tanggal 21 June 2021].

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451