Komplikasi Praktik Pernikahan sebagai Penyelesaian Pemerkosaan

HopeHelps UGM
5 min readMar 10, 2021

--

Komplikasi Praktik Pernikahan sebagai Penyelesaian Pemerkosaan

Garis kehidupan, suatu saat dalam masa hidup, pasti mempertemukan dengan baik orang-orang maupun peristiwa yang meninggalkan kenangan buruk atau bahkan trauma pada diri kita. Namun, ketika kita ingin menuntut remunerasi dari kerugian yang dialami akibat orang maupun peristiwa tersebut, hukum dan norma yang ada malah memaksa kita untuk mengikatkan diri dengan pihak tersebut sebagai bentuk pengabulan remunerasi dan penebusan dosa si pelaku. Ketakutan, frustasi, kekecewaan, kemarahan, rasanya tidak ada diksi yang mampu menggambarkan keputusasaan yang tentu mengikuti bayangan harus hidup dalam rantai kekerasan dalam jangka waktu tak ditentukan–bahkan mungkin seumur hidup.

Belakangan ini, isu berlakunya hukum dan praktisi hukum yang mengamini menikahkan korban pemerkosaan dengan pelaku yang memperkosanya sebagai bentuk penyelesaian kasus kembali menjadi sorotan. Beberapa hari lalu, kepala pengadilan agung India menawarkan bantuan kepada pelaku perkosaan untuk menikahi korban untuk menyelamatkan pelaku dari dipecat–bahkan ketika perkara ini diketahui akibat korban melakukan percobaan bunuh diri (Vice World News, 2021). Di luar India, praktik menikahkan pemerkosa dengan korban sebagai penyelesaian kasus pemerkosaan banyak juga terjadi (secara hukum maupun kultural) dalam berbagai masyarakat, menjadi bukti nyata krisis perspektif gender di lintas lapisan sosial.

Pemahaman akan konsep pentingnya informed consent (konsen yang diberikan dengan pengetahuan dan konteks yang cukup sebagai bahan pertimbangan) sayangnya masih belum menjadi pemahaman arus utama dalam berbagai masyarakat–terlebih lagi dalam masyarakat dengan latar belakang pemahaman yang belum progresif. Krisis pemahaman ini berdampak luar biasa krusial, terutama ketika dikombinasikan dengan kultur kental patriarki dan misoginis–semakin memarjinalkan kelompok perempuan.

Ada beberapa alasan yang dimiliki pemerintah hingga golongan masyarakat mengenai mengapa bagi mereka hal ini diperbolehkan. Salah satunya adalah ini merupakan bentuk tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pelaku pemerkosaan, mengingat kebanyakan dari kasus pemerkosaan ini berujung pada kehamilan korban, biasanya keluarga korban meminta bentuk pertanggungjawaban pelaku dengan cara memaksa kedua pihak untuk menikah. Mereka menganggap bahwa setelah menikahkan pelaku dengan korban segala masalah terselesaikan, padahal ini tidak menjamin bahwa kebutuhan ekonomi dapat dipenuhi, mengingat banyak dari pelaku yang tidak memiliki perencanaan jangka panjang untuk berkeluarga, terlebih justru justifikasi menikahkan pelaku dengan korban dapat memperparah perlakuan kasar terhadap korban. Hal ini didasarkan karena pelaku menganggap korban telah sepenuhnya berada dibawah hak pelaku setelah menjalin pernikahan. Terlebih, alasan menikahi korban dengan pelaku adalah untuk memberi kepastian hukum yang lebih agar anak tersebut mendapatkan hak waris dari ayah dan ibunya, karena jika merujuk pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 dan Pasal 186 anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan waris dengan ibu dan keluarga ibunya. Walaupun pada UU Perkawinan Pasal 43 ayat 1 menyebutkan bahwa anak diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibu biologisnya (Dimas Hutomo, S.H, 2018 ).

Norma ini juga dibenarkan bagi mereka sebagai pengakuan atas nilai budaya yang ditempatkan pada keperawanan perempuan, dimana hilangnya “keperawanan” dianggap hilangnya harga diri dan martabat seseorang sehingga menjadi sumber rasa malu bagi keluarga jika anak mereka sudah ‘tidak perawan’ atau hamil tanpa seorang suami. Untuk menghindari noda ini, pihak keluarga biasanya memaksa kedua pasangan untuk menikah guna mengembalikan nama baik keluarga (Warrick, 2005). Tentunya alasan-alasan diatas tidak mendasar baik dari segi saintifik karena tidak ada korelasi yang logis antara hilangnya keperawanan dengan moralitas seseorang. Bahkan, menurut WHO istilah keperawanan tidak dikenal dalam dunia medis dan tidak dapat dibuktikan secara saintifik.

Walaupun sudah ada banyak usaha aktivisme yang mencoba untuk menentang konsep yang berakar kuat di masyarakat, hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa akar dari perundang-undang dan peraturan itu sendiri bukanlah produk tradisi lokal melainkan, melainkan ini bersumber dari aturan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial berabad-abad lalu (Hibaaq Osman, 2017). Hal ini dikarenakan mayoritas negara yang masih melegalkan peraturan ini merupakan negara bekas jajahan dan pemerintah kolonial melegitimasi suara misoginisnya dalam wilayah jajahannya dengan menggunakan patriarki sebagai alat penindasan. Hal ini dapat dibuktikan seperti dalam Kitab Hukum Pidana Perancis 1810 no. 357 yang lalu diadopsi oleh Kesultanan Usmani dan berlaku pada wilayah-wilayah kekuasaannya seperti di Timur Tengah hingga Afrika Utara (Human Rights Watch, 2017).

Meskipun kerap diyakini sebagai ‘jalan terbaik’ bagi korban dan pelaku dalam pemerkosaan, menyatukan keduanya dalam ikatan pernikahan berarti menyerahkan korban ke dalam suatu rantai kekerasan yang tidak berujung, dalam keterpurukan tanpa celah untuk kebangkitan. Dalam diskusi bulanan internal HopeHelps UGM pada akhir Februari lampau, topik menikahkan korban dengan pemerkosa sebagai metode penyelesaian perkara menjadi pemantik diskusi yang terartikulasi dengan vibran. Berbagai spektrum perspektif menjadi lahan eksplorasi perbincangan. Salah satu poin penting yang diperhatikan adalah bagaimana dengan mengikatkan korban kepada pelaku dalam institusi pernikahan dan dalam satu atap yang sama, korban tidak akan memiliki waktu untuk menjalani proses penyembuhan pribadi–atau bahkan untuk memproses apa yang telah terjadi. Kesempatan korban untuk memproses trauma, krisis identitas, perasaan menyalahkan diri sendiri direnggut, ketika kemudian korban harus memenuhi tuntutan peran subordinat istri terhadap suami dalam suatu pernikahan. Hilangnya proses ini berarti pula hilangnya ekspresi diri otentik dari identitas korban, ketika kebebasannya untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri turut hilang.

Persepsi patriarkis yang ada dalam fabrikasi masyarakat (khususnya masyarakat konservatif) memberikan privilese akses ekonomi kepada peran suami. Relasi kuasa yang timpang dengan pelaku kerap menciptakan ketergantungan, semakin membelenggu korban dalam rantai kekerasan siklikal. Penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi suatu hal yang rawan dan kerap terjadi dalam skenario ini–magnifikasi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender sebagai permasalahan yang mengakar, sebagai suatu kekerasan struktural lengkap dengan ekosistem kultural yang mendukung proliferasinya.

Tidak hanya dampak langsung harus ditanggung korban yang terbelenggu ikatan pernikahan dengan pelaku kekerasan seksual, membenarkan praktik menikahkan pemerkosa dengan korban juga mencederai perjuangan pencarian keadilan dalam kekerasan seksual berbasis gender. Ketika pernikahan dianggap sebagai jalan penyelesaian, urgensi dari penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban ter de eskalasi sedemikian rupa, bahkan dapat menjadi bumerang yang berbahaya ketika kerangka pikir ini dijadikan landasan motif pemerkosaan–pelaku memperkosa korban dengan harapan dapat menikahi korban, sebagai upaya membalikkan cinta bertepuk sebelah tangan. Konstruksi kompas moral akan kemudian mengkalibrasi tindakan pemerkosaan sebagai tindakan yang benar selama pelaku kemudian ‘bertanggungjawab’ dengan menikahi korban. Padahal, segala tindakan seksual tanpa persetujuan semua pihak adalah bukan merupakan tindakan yang dapat dinormalisasi terlebih ketika absennya prinsip konsen menghilangkan keamanan dan otoritas atas diri korban bahkan hingga jangka panjang. Dengan normalisasi pandangan ini, tendensi untuk korban menyalahkan dirinya atas kekerasan yang dialaminya akan semakin besar.

Dalam implementasinya, beberapa negara secara konkrit menerapkan aturan yang melegalkan pemerkosa untuk menikahi korbannya dengan timbal balik pelaku tidak perlu menjalani proses pemidanaan. Tetapi kebanyakan dari praktik ini muncul juga dari putusan hakim yang kemudian dijadikan sebagai pedoman untuk kasus yang serupa. Seperti halnya di Malaysia, walaupun tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur menikahkan korban dengan pemerkosa (Time, 2017), tetapi diberlakukan dengan putusan pengadilan pada tahun 2015, walaupun pada akhirnya ditolak oleh Pengadilan Tinggi di Sabah dan Sarawak pada Agustus 2016 setelah protes berskala besar yang menyatakan bahwa ini akan menjadi preseden berbahaya bagi pemerkosa anak untuk menghindari hukuman (The Borneo Post, 2017). Begitu pula dengan Indonesia walaupun tidak ada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur, intinya adalah karena ada kekosongan hukum ini, hakim bisa memutuskan untuk tidak memberikan sanksi pidana terhadap pelaku dengan alasan Restorative Justice atau keadilan restoratif. Padahal, jika ingin memberikan Restorative Justice, diperlukan pendekatan yang secara maksimal dapat melindungi dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada korban pemerkosaan ini.

Menghapus kebijakan hukum dan juga norma yang menjadikan pernikahan antara pemerkosa dan korban pemerkosaan adalah sebuah langkah awal krusial yang dibutuhkan dalam perjalanan panjang perjuangan memberikan jaminan perlindungan kepada mereka yang dalam posisi sangat rentan. Pembenaran-pembenaran akan praktik menikahkan pelaku pemerkosa dengan korbannya yang berlandas pada keamanan sosial semu adalah bukan merupakan solusi, namun sebagai bukti nyata sebuah ekosistem permasalahan yang lebih besar–dimana dalam sistem tersebut terdapat relasi kuasa patriarkis.

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451