Menilik Kesetaraan Gender Dalam Profesi Atlet

HopeHelps UGM
21 min readOct 24, 2021

--

Oleh : Arum Sekar Pertiwi & Isabella Valentine

Olimpiade Tokyo baru saja digelar pada bulan Juli hingga Agustus 2021. Pesta olahraga tingkat dunia ini disebut sebagai Olimpiade dengan gender paling berimbang dalam sejarah. Partisipasi atlet perempuan dalam Olimpiade Tokyo mencapai 48,8 persen. Angka partisipasi tersebut lebih tinggi daripada Olimpiade sebelumnya. Selain itu, International Olympic Committee (IOC) juga mewajibkan tiap National Olympic Committee (NOC) untuk mengirimkan minimal satu atlet laki-laki dan satu atlet perempuan (International Olympic Committee, 2020). Hal ini merupakan perwujudan komitmen salah satu agenda Olimpiade Tokyo 2020 yang mana adalah untuk mewujudkan partisipasi perempuan hingga mencapai 50% dari keseluruhan peserta olimpiade, The IOC to work with the International Federation to achieve 50 per cent female participation in the Olympic Games and to stimulate women’s participation and involvement in sport by creating more participation opportunities at the Olympic Games (International Olympic Committee).

Meskipun mendapat predikat sebagai Olimpiade dengan gender paling berimbang, Olimpiade Tokyo masih menyisakan beberapa permasalahan terkait gender. Salah satunya adalah cabang olahraga jalan cepat yang dilaksanakan tanpa kategori putri karena dianggap tidak memiliki kedalaman dan kualitas yang dapat menjustifikasi status Olimpiade. Selain itu, Olimpiade Tokyo juga tidak lepas dari isu objektifikasi terhadap atlet perempuan. Berdasarkan analisis terhadap liputan media prime-time yang dilakukan oleh The Representation Project pada minggu pertama Olimpiade Tokyo, ditemukan bahwa atlet perempuan memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar untuk diobjektifikasi secara visual melalui angle kamera dibandingkan atlet laki-laki (Rasheed, 2021).

Di balik hal-hal yang terkesan indah karena disebut sebagai olimpiade dengan gender paling berimbang, sebenarnya ada banyak sisi yang tidak tersorot, salah satunya mengenai perjuangan beberapa atlet perempuan untuk dapat turut serta bertanding di olimpiade yang mana sempat mendapat pertentangan dari negaranya. Hal ini kemudian membuka pandangan kita bahwa sebenarnya kesetaraan gender dalam ranah profesi atlet belum benar-benar terwujud. Ada gap yang cukup jauh antara atlet laki-laki dan perempuan dan sangat disayangkan bahwa hal ini jarang disorot karena telah terbuai dengan kampanye kesetaraan tanpa melihat realita yang masih terjadi di masyarakat.

Sejarah Partisipasi Atlet Perempuan dan Gap Partisipasi yang terjadi

Proses panjang harus dilalui oleh perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam kompetisi olahraga. Di masa lampau, perempuan tidak dapat berpartisipasi dalam ajang olahraga. Salah satunya adalah Olimpiade Musim Panas pertama tahun 1896 yang hanya melibatkan atlet laki-laki. Pada saat itu Olimpiade menjadi ajang untuk memperlihatkan kekuatan fisik dan daya tahan laki-laki, sedangkan perempuan hanya bisa menjadi penonton karena pihak penyelenggara Olimpiade meyakini bahwa perempuan tidak seharusnya agresif dan kompetitif. Partisipasi atlet perempuan baru dapat dilihat pada Olimpiade Musim Panas tahun 1900, namun partisipasi atlet perempuan baru disetujui secara resmi pada Olimpiade London 1908. Pada tahun 1910, International Swimming Federation (ISF) menyetujui kompetisi renang wanita sehingga atlet renang wanita pun dapat berpartisipasi dalam Olimpiade Stockholm 1912 (National Women’s History Museum, 2016). Pada Olimpiade di tahun-tahun berikutnya, cabang olahraga yang melibatkan atlet perempuan pun terus bertambah, meskipun masih terdapat ketimpangan gender dalam Olimpiade (Stavropoulos, 2018).

Hingga Olimpiade 1968, partisipasi atlet perempuan dalam Olimpiade belum mencapai 1000 orang. Namun angka partisipasi atlet perempuan terus mengalami peningkatan, bahkan mencapai hampir 5000 orang pada Olimpiade Rio 2016. Peningkatan angka partisipasi atlet perempuan tidak hanya terjadi pada Olimpiade Musim Panas, tapi juga Olimpiade Musim Dingin. Salah satu penyebab meningkatnya partisipasi atlet perempuan dalam Olimpiade Musim Panas dan Olimpiade Musim Dingin adalah meningkatnya jumlah cabang olahraga yang terbuka bagi perempuan. Selain itu, atlet perempuan juga mendapat perbaikan teknik pelatihan yang berkembang dari pengalaman pelatihan laki-laki (Stavropoulos, 2018).

Tingkat partisipasi atlet perempuan dalam kompetisi olahraga berbeda-beda di tiap negara. Faktor budaya hingga peraturan turut menentukan partisipasi perempuan dalam dunia olahraga. Misalnya Amerika Serikat yang menjadi negara dengan tingkat partisipasi atlet perempuan terbanyak pada Olimpiade London 2012 (Stavropoulos, 2018). Dalam sejarahnya, Amerika Serikat memiliki peraturan yang mendukung kesetaraan gender dalam dunia olahraga. Hal tersebut berawal dari Title IX yang menjadi hukum anti diskriminasi dan dilanjutkan dengan lahirnya Undang-Undang Olahraga Amatir 1978 (Amateur Sports Act). Undang-undang ini juga muncul akibat adanya ketidakadilan dalam pemilihan tim nasional untuk Olimpiade, Pan Amerika, kejuaraan dunia, dan ajang olahraga internasional lainnya. Diskriminasi berbasis gender, ras, dan disabilitas fisik dalam olahraga amatir, terbuka, dan non sekolah dilarang dalam Amateur Sports Act. Partisipasi perempuan dalam dalam olahraga di Amerika Serikat pun semakin terbuka karena kedua peraturan ini (Lopiano, 2000).

Berbeda dengan Amerika Serikat, kesetaraan gender dalam dunia olahraga di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim masih tergolong rendah. Negara-negara yang tergabung dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC) menunjukkan performa yang buruk dalam Olimpiade. Buruknya performa negara-negara OIC berkaitan dengan kurangnya jumlah atlet perempuan. Padahal atlet perempuan di negara teratas pada Olimpiade 2016 dapat menyumbangkan banyak medali emas bagi negaranya. Adanya keterlibatan atlet perempuan dari seluruh negara peserta Olimpiade baru dapat dilihat pada Olimpiade London 2012 (Stavropoulos, 2018).

Rendahnya partisipasi perempuan dalam ajang olahraga di banyak negara Muslim berkaitan dengan kultur dan kepercayaan agama, misalnya keyakinan bahwa partisipasi perempuan dapat menjadi daya tarik seksual bagi laki-laki (Walseth & Fasting, 2003 dalam Strandbu, Bakken, & Sletten, 2019). Selain itu, terdapat pandangan bahwa tugas perempuan adalah menjadi ibu dan melayani keluarga yang kemudian dijadikan dalih agar perempuan jauh dari aktivitas sosial dan profesional seperti olahraga. Dalam sebuah studi terhadap atlet perempuan di Iran, ditemukan adanya hambatan dari pihak otoritas yang masih berkaitan dengan kepercayaan agama. Terdapat fatwa, penentangan dari ulama radikal, aturan yang melarang atlet perempuan ke luar negeri, hingga pelarangan penayangan beberapa acara olahraga. Selain itu, terdapat hambatan lain seperti politisasi olahraga; diskriminasi dalam penyediaan fasilitas dan anggaran; hingga ketidaksetaraan dalam upah atlet, pelatih, dan wasit antara laki-laki dan perempuan (Sadeghi, Sajjadi, Nooshabadi, & Farahani, 2018).

Partisipasi atlet perempuan juga bergantung pada jenis olahraganya, yaitu apakah olahraga tersebut dianggap sebagai olahraga maskulin atau feminin. Sebuah riset yang dilakukan terhadap atlet judo dan angkat besi perempuan menunjukkan adanya hambatan yang dialami perempuan dalam olahraga maskulin. Jumlah atlet perempuan Indonesia yang berprestasi di bidang olahraga maskulin masih rendah akibat minimnya kesempatan yang diberikan oleh keluarganya untuk berkarier di bidang olahraga. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa perempuan tidak seharusnya melakukan latihan keras layaknya laki-laki. Aktivitas tersebut dianggap dapat mengubah bentuk tubuh perempuan dan berdampak negatif terhadap organ reproduksi. Budaya maskulinitas hegemonik turut memperparah hal ini. Orang tua melarang anaknya untuk melakukan latihan yang melibatkan kontak fisik seperti pada judo. Selain itu, aktivitas berat seperti dalam olahraga angkat besi dianggap hanya pantas dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Padahal atlet angkat besi menganggap bahwa gender tidak menjadi batasan dalam olahraga dan prestasi yang mereka dapatkan dapat menghasilkan uang seperti pekerjaan lainnya. (Berliana, Hamzah, & Simbolon, 2021).

Beberapa Permasalahan dalam Profesi Atlet

Dalam olimpiade Tokyo 2020 yang baru saja usai digelar, memang seolah-olah terlihat sudah terdapat kesetaraan gender di dalamnya sehingga banyak masyarakat yang lupa mengenai permasalahan gender yang terjadi di dalam lingkup profesi atlet, seperti masalah mengenai perbedaan upah antara atlet laki-laki dan perempuan, masalah kebebasan berpakaian, dan masalah seksisme serta objektifikasi yang sering dijadikan pemberitaan oleh media.

A. Ketidaksetaraan Upah (Pay Gap)

Ketidaksetaraan upah (Pay Gap) tersebut telah menyebabkan perdebatan yang banyak didominasi dari kalangan feminis. Pasalnya dengan pengorbanan dan perjuangan yang sama, tak jarang atlet perempuan malah mendapat upah dan bonus yang lebih sedikit daripada atlet laki-laki.

Eoin J. Trolan (Trolan, 2013) dalam tulisannya Tentang The Impact Of The Media On Gender Inequality Within Sport, mengatakan bahwa Sejak usia dini pria dan wanita disosialisasikan secara berbeda. Laki-laki diajarkan untuk bermain olahraga atau menonton olahraga oleh banyak agen berbeda seperti keluarga, teman sebaya, dan sekolah, sementara, sebagian besar perempuan diajari bahwa kegiatan olahraga hanya untuk pria. Whisenant, Pederson, & Obenour (2002) menyatakan agen-agen ini menekankan bahwa olahraga adalah untuk pria dan menciptakan situasi di mana olahraga dan maskulinitas menjadi identik. Sehingga dari hal inilah, terbentuklah pandangan bahwa dunia olahraga memang dunia laki-laki, sehingga perlu adanya perbedaan dari segi apapun termasuk perbedaan upah yang diterima oleh atlet laki-laki dan atlet perempuan.

Dalam sebuah laporan berjudul “Beyond 30 per cent — Workplace Culture in Sport”, disebutkan bahwa perempuan yang bekerja di dunia olahraga merasa dirinya kurang dihargai dan mengalami perlakuan diskriminatif. Laporan itu juga menyebutkan bahwa banyak perempuan yang dibayar lebih rendah untuk melakukan pekerjaan yang sama yang dilakukan oleh pria dan menghadapi lebih banyak tantangan untuk berkembang dan merasa tidak dinilai secara adil. Laporan yang dilakukan oleh organisasi Women in Sport itu memberikan gambaran bahwa seksisme di dunia olahraga masih terus berlangsung. Sebanyak 38 persen perempuan disebut mengalami diskriminasi gender di tempat kerja, berbanding dengan 21 persen laki-laki yang mengaku mendapat perlakukan diskriminatif yang sama. Atlet perempuan seringkali cuma dinilai berdasarkan penampilan fisik dan daya tariknya, sementara atlet laki-laki dinilai khususnya dari kinerja dan keterampilan mereka.

Ada beberapa contoh kasus mengenai pay gap antara atlet laki-laki dan atlet perempuan, misalnya dalam Piala Dunia 2014 dan Piala Dunia Perempuan 2015. Dilansir dari Goal, federasi sepakbola Amerika Serikat memberikan bonus sebesar $5 juta untuk timnas pria yang hanya berhasil lolos hingga babak 16 besar. Sementara untuk timnas perempuan yang notabene keluar sebagai juara, hanya diganjar bonus $2 juta saja. Pay gap juga terjadi dalam turnamen Grand Slam, Lebih dari 70% pemain tenis profesional pria di 200 besar dunia memiliki penghasilan lebih dari rekan-rekan wanita mereka. Perbedaan gaji yang besar juga terlihat di piala dunia sepak bola, dengan laki-laki menerima hadiah uang sebesar US$28,6 juta, sedangkan turnamen putri hanya menerima US$820.000. Perbedaan juga terjadi dalam peluang seorang atlet mendapatkan sponsor, Hal ini tertulis dalam laporan yang berjudul “Women in Sports: Double Standards a Double Fault” yang diterbitkan di The Conversation. Atlet perempuan kurang mendapatkan dukungan dari sponsor sehingga bonus yang diberikan kepada atlet perempuan tidak sebanyak bonus yang diperoleh oleh atlet laki-laki. Hal ini karena label maskulinitas yang terlanjur merekat dalam profesi atlet yang mana tak jarang membuat sponsor juga menganggap atlet laki-laki lebih berprestasi dibandingkan atlet perempuan. Mereka juga mencatat bahwa para sponsor tidak menyukai atlet perempuan yang memiliki citra sebagai pendobrak tradisi (‘bad girl’). Namun, hal sebaliknya terjadi pada atlet laki-laki yang lebih mudah diterima oleh para sponsor, apalagi jika punya kesan ‘bad boy’. Hal ini tentu disebabkan oleh budaya patriarki yang mengakar di masyarakat.

Pay Gap ini tentu tidak dapat dibenarkan, karena kenyataannya atlet laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja keras untuk mempersiapkan diri dalam turnamen olahraga. Dunia internasional melalui ILO (International Labour Organization) sebenarnya telah berupaya menciptakan pengupahan yang adil bagi pekerja lelaki maupun perempuan yang telah dimulai pada tahun 1950-an. Dalam sidang konferensi ILO ke-34 di Jenewa, salah satu usulan yang dibahas ialah prinsip pengupahan yang setara. Sidang ini kemudian menghasilkan Konvensi Internasional C100 tentang kesetaraan upah yang ditetapkan pada 29 Juni tahun 1951. Selain ILO, ada pula konvensi yang mengatur mengenai kesetaraan upah yaitu Konvensi CEDAW.

Menurut Pasal 1 (a) Konvensi ILO C100, Istilah ‘upah’ mencakup upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan lain apapun, yang dibayar secara langsung maupun tak langsung, secara tunai maupun dalam bentuk barang oleh majikan kepada pekerja terkait atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Sedangkan dalam Pasal 1 (b) dijelaskan bahwa istilah ‘upah yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya’ mengacu pada nilai upah yang ditetapkan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Dari Pasal ini kita dapat menemukan definisi upah yang setara itu seperti apa.

Selanjutnya, dalam Pasal 2 Konvensi ILO №100 ini diatur pula mengenai metoda-metoda yang berlaku untuk menetapkan nilai upah, yang mana setiap pihak yang meratifikasi harus mempromosikan dan, sesuai dengan cara tersebut, menjamin pelaksanaan asas pengupahan yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan atas pekerjaan yang sama nilainya untuk semua pekerja. Sama seperti Pasal 11 huruf d CEDAW yang menyebutkan bahwa negara peserta wajib membuat peraturan yang memuat hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam Pasal-pasal di atas jelas nampak bahwa negara yang telah meratifikasi wajib memegang teguh komitmennya untuk memberantas adanya Pay Gap. Dalam pasal tersebut juga dijamin mengenai hak perempuan untuk mendapat kesetaraan upah atas pekerjaan yang sama nilainya. Dalam ranah profesi atlet, baik laki-laki maupun perempuan tentu sama-sama berjuang dan mengerahkan kemampuan terbaik mereka untuk terjun ke perlombaan, semuanya sama-sama butuh pengorbanan dari segi waktu, tenaga, dan pikiran yang mana menunjukkan bahwa pekerjaan yang ditempuh ini bernilai sama karena baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dituntut untuk bekerja keras. Maka dari itu, Pay Gap tentu bukan tindakan yang bisa dibenarkan. Kalaupun ada Pay Gap, seharusnya penilaiannya lebih objektif dan tidak menyangkut perihal gender sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (3) Konvensi C100 ILO, yang mana menyatakan bahwa Nilai upah yang berbeda antar pekerja, tanpa memandang jenis kelamin mereka, yang sesuai dengan perbedaan, seperti yang ditetapkan melalui penilaian yang obyektif, pekerjaan yang akan dilaksanakan, tidak akan dianggap bertentangan dengan asas pengupahan yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan atas pekerjaan yang sama nilainya. Namun, apabila pekerjaan yang ditempuh sama tetapi perempuan dianggap bisa dibayar lebih murah karena citra maskulinitas dalam dunia atlet, maka sudah pasti itu bukan alasan yang tepat dan budaya seperti ini harus diberantas.

B. Kebebasan berpakaian bagi atlet perempuan

Dunia olahraga nyatanya masih lekat dengan seksisme, terutama mengenai pakaian atlet. Setiap cabang olahraga memiliki aturan tersendiri mengenai cara berpakaian atlet, baik untuk atlet laki-laki maupun perempuan. Namun aturan berpakaian sarat akan standar ganda karena atlet perempuan dihadapkan oleh aturan yang cenderung lebih ketat. Dalam beberapa cabang olahraga, atlet perempuan bahkan diwajibkan untuk menggunakan pakaian minim. Padahal aturan tersebut tidak ada kaitannya dengan performa atlet.

Salah contoh standar ganda dalam aturan berpakaian atlet dapat ditemukan dalam olahraga bola tangan. Pada bulan Juli 2021, sebuah tim bola tangan wanita di Norwegia menggunakan celana pendek saat bertanding sehingga setiap pemain didenda sebanyak 150 euro oleh European Handball Federation. Atlet bola tangan wanita diwajibkan untuk memakai bawahan bikini. Padahal atlet laki-laki diperbolehkan untuk menggunakan celana pendek asalkan tidak terlalu longgar. Tim bola tangan Norwegia mempertanyakan aturan ini karena menunjukkan adanya standar ganda terhadap atlet perempuan. Sebelumnya Norwegia telah melayangkan protes mengenai kewajiban menggunakan bawahan bikini sejak tahun 2006, tapi tidak ada perubahan. Ketika ditanya mengenai kejadian ini, pihak International Handball Federation mengatakan bahwa negara lain tidak mempermasalahkan hal ini dan Norwegia menjadi satu-satunya negara yang mengajukan protes secara resmi. Mereka malah mengatakan bahwa mereka sedang fokus pada Olimpiade, bukan pada seragam (Gross, 2021).

Atlet perempuan tidak hanya terkekang oleh aturan berpakaian, tapi juga rentan diseksualisasi atau dipertanyakan gendernya dari penampilan secara keseluruhan. Dalam sebuah riset yang dilakukan McCarthy (2021) terhadap 18 video pertandingan park skating dan street skating wanita di YouTube, ditemukan 12,9% komentar misoginis berbahaya atau pelecehan, termasuk di dalamnya adalah komentar bernada diskriminasi gender dan diskriminasi seksualitas. Banyak komentator yang fokus pada fisik atlet atau mengajak atlet tersebut untuk melakukan aktivitas seksual dengan mereka. Komentar seksual terutama ditujukan bagi atlet dengan penampilan feminitas atletik heteroseksual (heterosexual athletic feminity), misalnya atlet dengan rambut pink dan pakaian feminin. Komentator lebih fokus pada penampilan atlet perempuan, bukan pada performanya. Jika atlet berpenampilan feminin menjadi diobjektifikasi secara seksual, maka atlet perempuan yang berpenampilan sebaliknya malah dipertanyakan gendernya. Atlet tersebut menjadi sasaran diskriminasi bernada homofobik dan transfobik. Stigma hingga pelecehan ditujukan pada atlet yang tidak sesuai dengan standar femininitas tradisional dan atlet LGBTQIA.

Ujaran kebencian karena penampilan yang tidak sesuai standar feminitas tradisional juga dialami oleh atlet panahan Korea Selatan, An San. Tiga medali emas yang ia dapat dalam Olimpiade Tokyo 2020 tidak cukup membuat semua masyarakat Korea Selatan bangga. Banyak kritik yang dilontarkan oleh masyarakat Kore Selatan yang tidak menyukai penampilan An San. Rambut pendek An San dianggap sebagai simbol feminis yang diasosiasikan dengan pembenci pria. Di tengah ujaran kebencian yang bermunculan, banyak perempuan Korea Selatan yang mendukung An San dengan kampanye rambut pendek. Mereka mengunggah foto di media sosial yang memperlihatkan rambut pendek mereka untuk membuktikan bahwa rambut pendek tidak membuat mereka kurang sebagai perempuan (Tan & Yip, 2021).

C. Pemberitaan Seksis Media

Ketidaksetaraan gender di dunia olahraga tidak hanya berupa ketidaksetaraan dalam partisipasi, pendapatan, dan aturan berpakaian, tapi juga ditemui dalam pemberitaan di media. Media mengkotak-kotakkan olahraga tertentu ke dalam kategori maskulin (misalnya sepak bola) dan feminin (misalnya senam), sehingga semakin memperburuk hambatan gender dalam olahraga. Liputan di media lebih fokus pada atlet perempuan yang berpartisipasi dalam olahraga tradisional feminin. Pemberitaan media pun lebih fokus pada penampilan fisik, kehidupan pribadi, hingga seksualitas atlet daripada prestasi atlet tersebut (Scheadler & Wagstaff, 2018).

Salah satu contohnya dapat dilihat dalam pemberitaan mengenai atlet perempuan yang berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 2020. Di media Indonesia dapat ditemui judul seperti “Viral! Atlet Lompat Jauh Cantik Asal Jepang Bikin Terpesona Warganet” yang dimuat di sports.okezone.com, “Godaan Panas Menawan di Olimpiade Tokyo” yang dimuat di republika.co.id, “Jeritan Hati Pebulutangkis Cantik Myanmar Mengenaskan di Olimpiade” yang dimuat di viva.co.id, dan masih banyak lagi. Kata “cantik”, “panas”, “menawan”, dan sejenisnya menunjukkan adanya objektifikasi atlet perempuan dalam media. Atlet perempuan seolah dinilai dari penampilan fisik saja. Padahal media dapat fokus memberitakan prestasi atau performa atlet di lapangan.

Pemberitaan di media juga dapat memuat agresi mikro terhadap atlet perempuan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Allen & Frisby (2017) terhadap koran dan majalah yang memberitakan atlet Amerika Serikat pada Olimpiade 2012 dan 2016, ditemukan adanya agresi mikro yang ditujukan untuk atlet perempuan dalam pemberitaan di media. Agresi mikro yang dimaksud berupa objektifikasi seksual, kata-kata yang mengarah pada second-class citizenship, kata-kata bernada rasis atau seksis, kata-kata yang membatasi peran gender, candaan seksis, hingga kata-kata yang berfokus pada penampilan feminin tradisional dan bentuk tubuh atlet. Agresi mikro tersebut merendahkan prestasi atlet perempuan dan mengandung gagasan bahwa atlet perempuan tidak pantas untuk diberitakan serupa atau lebih baik daripada atlet laki-laki. Terdapat kemungkinan bahwa jika atlet Olimpiade perempuan dianggap lebih baik daripada atlet laki-laki, hal tersebut dapat menghasilkan perasaan rendah diri dan hilangnya harga diri atlet laki-laki. Mirisnya, hasil temuan Allen dan Frisby menunjukkan adanya peningkatan jumlah agresi mikro pada Olimpiade 2016. Total agresi mikro pada Olimpiade 2012 adalah 69 berita, kemudian total agresi mikro pada Olimpiade 2016 menjadi 96 berita atau meningkat sekitar 39 persen.

Selain dalam pemberitaan, ketidaksetaraan gender juga dapat ditemui dalam sampul majalah olahraga. Frisby (2017) melakukan sebuah riset terhadap sampul majalah olahraga terkemuka, Sports Illustrated dan ESPN The Magazine, yang terbit pada Januari 2012 hingga Desember 2016. Hasilnya, frekuensi kemunculan atlet laki-laki di sampul majalah lebih banyak 90 persen daripada atlet perempuan. Atlet laki-laki juga lebih banyak tampil dalam seragam tim mereka, sedangkan atlet perempuan lebih banyak tampil dengan pakaian minim/provokatif. Pose-pose yang ditampilkan atlet perempuan pun lebih mengarah pada objektifikasi/seksualisasi. Seksualisasi dalam potret atlet perempuan dapat mendorong penggemar untuk merendahkan dan mengabaikan atlet perempuan dan olahraga yang mereka lakukan.

Menurut Palmeri (2001) dalam Shaller (2006), para jurnalis dapat menentukan cara audiens melihat isu, cerita, dan individu tertentu yang layak diberitakan. Dengan cara tersebut, media dapat mempengaruhi cara berpikir audiens. Framing dalam media mempengaruhi penafsiran publik terhadap suatu ide sebagai lebih penting atau lebih dapat diterima daripada yang lain. Dalam konteks olahraga, media pun dapat mempengaruhi cara pandang audiens terhadap dunia olahraga, termasuk cara pandang terhadap atlet perempuan. Trolan (2013) menjelaskan bahwa ketidaksetaraan gender dan perbedaan gender dilanggengkan melalui hubungan simbiosis media dan olahraga yang mengkonstruksi dan memanfaatkan stereotip gender, baik melalui kata-kata maupun foto. Media memiliki liputan yang bias karena menganggap konsumen media olahraga adalah laki-laki, sehingga menyelaraskan liputannya agar sesuai calon pelanggan.

Media ingin menjual berita, sedangkan objektifikasi tubuh atlet perempuan dapat terus dikonsumsi publik melalui media tersebut. Objektifikasi tubuh perempuan menjadi upaya berkelanjutan laki-laki untuk mempertahankan kekuasaan. Atlet perempuan pun akhirnya harus menyesuaikan dengan pandangan ideal laki-laki tentang citra perempuan yang seharusnya. Citra ideal tersebut terkait dengan erotisme dan aspek heteroseksual dari tubuh perempuan yang kemudian lebih dilihat daripada kemampuan atlet perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan diobjektifikasi dan dilihat seperti soft-core pornography. Dari hal tersebut, laki-laki akhirnya bisa menekan perempuan sebagai atlet. Media membentuk pandangan ideal ini untuk mengkomersialisasikan olahraga perempuan dan semakin mempertegas aspek feminin dari atlet perempuan (Trolan, 2013).

Media memiliki peran untuk memutus hubungan simbiosis antara media dan olahraga yang bersifat toksik. Dibutuhkan pemberitaan yang adil bagi atlet, baik perempuan maupun laki-laki. Keadilan tersebut bukan berarti jumlah pemberitaan atlet laki-laki dan perempuan harus benar-benar sama, melainkan penggambaran atlet perempuan dalam media harus fokus pada kekuatan dan kemampuan atlet perempuan layaknya pemberitaan atlet laki-laki. Atlet perempuan yang berlaga dalam olahraga maskulin pun setara dalam media, bukan hanya olahraga feminin saja. Selain itu, jurnalis, editor, ahli media dan komunikasi strategis, serta orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap topik ini perlu mengadvokasi perubahan konten media olahraga agar menjadi lebih positif (Frisby, 2017).

Double Standard dalam Profesi Atlet

Dari permasalahan-permasalahan yang kami diuraikan di atas, hal tersebut terjadi karena adanya double standard dalam dunia profesi atlet. Double standard atau Standar ganda “menyiratkan bahwa dua hal yang sama diukur dengan standar yang berbeda” (Eichler 1980:15). Jadi, standar ganda gender menunjukkan bahwa kita mengevaluasi perilaku yang sama antara laki-laki dan perempuan secara berbeda; apa yang dapat diterima atau sesuai untuk yang satu mungkin tidak sama bagi yang lain.

Kim Elsesser, pengarang buku Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that’s Dividing the Workplace, menyatakan di Forbes bahwa budaya dan cara membesarkan anak-anak berpengaruh terhadap adanya standar ganda dalam gender. “Anak-anak perempuan tidak memilih untuk tidak masuk bidang tertentu, mereka disetir oleh orang tuanya, gurunya, serta teman-temannya untuk menjauhi bidang tersebut. Dari usia dini, anak laki-laki diharapkan lebih unggul di bidang Matematika dan Sains, bidang yang biasanya memberi gaji besar,” tulis Elsesser. Di samping itu, ia melihat faktor lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap representasi perempuan dan kesenjangan gender. Laki-laki akan dianggap lebih terpercaya dan kompeten dikarenakan citra laki-laki yang kuat dalam menjadi pemimpin membuat kesempatan yang dimiliki laki-laki lebih besar. Perempuan dianggap tidak terpercaya untuk menjadi pemimpin karena dianggap sebagai makhluk yang lemah dan memiliki tanggung jawab lebih dalam berumah tangga, sehingga dianggap kurang kompeten, maka dari itu perempuan biasanya mendapat upah yang lebih rendah. Selain itu, perempuan juga rawan mendapat pelecehan seksual di tempat kerjanya.

Hingga saat ini, Perempuan masih terbelenggu dengan penilaian dan konstruksi yang bias. yang melekat pada perempuan berdampak pada pelanggengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, hal ini berdampak pada dikotomi peran gender yang melahirkan ketimpangan relasi kuasa gender. Budaya patriarki jelas menjadi faktor pendorong terjadinya double standard, karena budaya tersebut memberikan keistimewaan tanpa alasan yang rasional kepada gender laki-laki, yang pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan signifikan yang dikelompokan berdasarkan gender,selain perbedaan fisik. Dalam profesi atlet, terjadi fenomena double standard yang kemudian menimbulkan beberapa permasalahan gender seperti yang telah kami uraikan di atas. Atlet perempuan dianggap tidak lebih mampu dibanding atlet laki-laki, karena adanya double standard yang selalu memiliki stigma bahwa perempuan itu lemah sehingga harus dinomorduakan. Apabila atlet perempuan berprestasi dalam turnamen, media seolah-olah buta dan hanya sedikit media yang menyorot prestasi atlet perempuan. Media sibuk membuat berita-berita yang tidak senonoh dengan dibumbui seksisme serta objektifikasi kepada atlet perempuan. Dan sayangnya, berita seksis seperti itu justru laris di kalangan masyarakat. Hal ini seakan-akan membuat garis yang cukup nyata bahwa prestasi atlet perempuan tidak ada apa-apanya dibanding prestasi atlet laki-laki. Perempuan melulu dinilai dari fisik dan tubuhnya saja tanpa memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menunjukkan prestasinya di bidang olahraga ini.

Pada hakikatnya setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi yang sama dan setara. Namun, perilaku manusia itulah yang membuat batasan dan peraturan tentang apa yang dianggap tinggi dan rendah tanpa sebab yang dapat dinilai secara rasional. fenomena standar ganda ini tentu melanggar hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan karena standar ganda ini melanggengkan diskriminasi gender.

Gender Equality dari Sudut Pandang Feminist Jurisprudence dan Kaitannya dalam Profesi Atlet

Gender equality atau kesetaraan gender, dikenal juga sebagai keadilan gender yang merupakan pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka. Hal ini merupakan salah satu tujuan dari Deklarasi Universal Hak asasi Manusia, PBB yang berusaha untuk menciptakan kesetaraan dalam bidang sosial dan hukum, seperti dalam aktivitas demokrasi dan memastikan akses pekerjaan yang setara dan upah yang sama. Dalam prakteknya, tujuan dari kesetaraan gender adalah agar tiap orang memperoleh perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, tidak hanya dalam bidang politik, di tempat kerja, atau bidang yang terkait dengan kebijakan tertentu. PBB juga mencantumkan kesetaraan gender sebagai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang berlaku bagi seluruh negara (universal) karena PBB menanggap kesetaraan gender merupakan salah satu goals penting dalam SDGs karena Kesetaraan gender bukan hanya hak asasi manusia yang mendasar, tetapi juga fondasi yang diperlukan untuk dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan.

Jika kita melihat kesetaraan gender atau gender equality dari sudut pandang feminist jurisprudence, maka ada dua konsep yang perlu kita lihat yaitu:

1. Liberal Feminist Jurisprudence

Yang mana Menuntut perluasan kebutuhan akan kebebasan individu perempuan, misalnya kebebasan berpendapat, berpikir,berkumpul, dan seksualitas. Aliran ini memandang individu merupakan agen yang otonom dan pemegang hak, dan menekankan pada nilai kesetaraan, rasionalitas, dan otonomi. Dan karena perempuan dan laki-laki sama-sama rasional, maka mereka berhak memperoleh kesamaan kesempatan dalam menjalankan pilihan rasionalnya, dengan membuka ruang seluas-luasnya. Salah satu fokus penting Liberal Feminist Jurisprudence ini adalah persamaan kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke ruang publik (misalnya dalam hal pekerjaan, politik, dan interaksi sosial).

2. Radical Feminist Jurisprudence

Aliran ini berpadangan karena laki-laki mendefinisikan perempuan berbeda, maka mustahil perempuan memperoleh kesetaraan. Kesempatan memang ada, tapi meng-exercise kesempatan itu secara mendasar tetap tidak bisa. Karena terjadi dominasi atas perempuan, maka permasalahan utamanya adalah hubungan kekuasaan (power) yang tidak imbang.

Aliran ini juga berpandangan bahwa hukum merupakan sistem maskulin, suatu sarana yang sudah menyejarah/ajeg, yang tidak bisa diubah secara mendasar hanya engan perempuan masuk ke dalam sistem dan memasukkan nilai-nilai feminis pada aturan dan prosedurnya. Adapun Hasil dari reformasi hukum dengan memasukkan unsur perempuan lebih banyak tersebut justru kontraproduktif dari yang diharapkan. Hal yang terjadi justru:

a) Membantu legitimasi dari sistem tersebut sebab nilai laki-laki sudah terlebih dahulu dominan pada hukum, jikapun perempuan ingin mengubah paling yang diubah hanya ‘pernak-pernik’ hukumnya saja — tidak bisa mengubah logika dasarnya yang patriarkis.

b) Mereproduksi/melanggengkan relasi dominasi laki-laki atas perempuan

Dari 2 konsep feminist jurisprudence di atas jika dikaitkan dengan konsep gender equality dalam profesi atlet maka dapat kita lihat bahwa tidak cukup hanya memperjuangkan hak untuk memperoleh kesamaan kesempatan dalam menjalankan pilihan rasionalnya, yakni dengan membuka ruang seluas-luasnya dalam bidang apapun termasuk bidang pekerjaan sebagaimana yang dianut oleh aliran konsep Liberal Feminist Jurisprudence. Karena pada kenyataannya, memang di zaman ini sudah banyak atlet perempuan yang turut serta bertanding dalam turnamen olahraga, dan boleh mengikuti berbagai macam cabang perlombaan olahraga, tetapi apakah dengan memberi kesempatan yang sama antara atlet laki-laki dan atlet perempuan maka sudah dapat dikatakan telah terjadi kesetaraan gender dalam profesi atlet? Tentu saja tidak. Masih ada begitu banyak masalah dan isu-isu gender yang muncul seperti yang telah kami bahas di atas. Alih-alih terbuai dengan kata kesempatan yang sama telah diperoleh karena atlet perempuan dan laki-laki kini bisa sama-sama bertanding dalam turnamen, ada baiknya kita melihat dari segi realita. Kita harus melihat realita bahwa sampai saat ini banyak yang masih berpadangan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki. Hal inilah yang kemudian menyebabkan sering terjadi dominasi atas perempuan, maka permasalahan utamanya adalah hubungan kekuasaan (power) yang tidak imbang atau yang bisa disebut dengan relasi kuasa. Jika kita lihat dalam profesi atlet, tentu akan menjadi percuma apabila hanya memberi kesempatan yang sama kepada perempuan untuk bertanding namun di dalamnya masih terdapat relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, tidak mengubah budaya patriarki yang terlanjur mengakar. Maka, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender dalam profesi atlet belum sepenuhnya terwujud, namun masih dalam tahap pengupayaan.

Kesimpulan

Kesetaraan gender dalam profesi atlet memang belum sepenuhnya terwujud karena realitanya masih ada beberapa permasalahan gender yang timbul seperti adanya pay gap, masalah kebebasan berpakaian bagi atlet perempuan, dan masalah seksisme media. Hal ini terjadi karena adanya budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat yang mana kemudian menyebabkan adanya relasi kuasa antar gender, dan timbulnya standar ganda gender yang mana menganggap atlet laki-laki lebih baik dan lebih kuat daripada atlet perempuan. Apabila permasalahan ini dilihat dari kacamata feminist jurisprudence, maka sebenarnya tidak cukup memberikan kesempatan yang sama bagi atlet perempuan dan laki-laki untuk bertanding di turnamen olahraga. Lebih dari itu, harus disadari terlebih dahulu bahwa pada realitanya memang ada perbedaan dalam sistem masyarakat, dan itulah yang perlahan harus kita ubah. Dengan hanya memasukkan atlet perempuan ke dalam turnamen olahraga saja tidak cukup apabila mindset masyarakat masih berpegang teguh pada budaya patriarki.

Daftar Pustaka

International Olympic Committee. (2020). Women gaining ground on the field of play and at the top table. Retrieved from https://olympics.com/ioc/news/women-gaining-ground-on-the-field-of-play-and-at-the-top-table (15 Agustus 2021).

Lopiano, D. A. (2000). Modern History of Women in Sports: Twenty-five Years of Title IX. Clinic in Sports Medicine, 19(2), 163–173. https://doi.org/10.1016/S0278-5919(05)70196-4.

National Women’s History Museum. (2016, August 8). Getting into the Games: Olympic Women. https://www.womenshistory.org/articles/getting-games-olympic-women.

Rasheed, Z. (2021, August 8). Why sexism is still a problem at the most ‘gender-equal’ olympics. Aljazeera. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2021/8/8/sexism-is-still-a-problem-at-the-first-gender-equal-olympics (15 Agustus 2021).

D. K., B. J., & K. T. (2018). Double Standards or Social Identity? The Role of Gender and Ethnicity in Ability Perceptions in the Classroom, Vol 39(5). doi:https://doi.org/10.1177/0272431618791278

Stavropoulos, V. (2018, February 9). The Evolution of Women Participation in Sports Events. https://statathlon.com/the-evolution-of-women-participation-sports-events/.

Sadeghi, S., Sajjadi, S. N. Nooshabadi, H. R., & Farahani, M. J. (2018). Social-Cultural Barriers of Muslim Women Athletes: Case Study of Professional Female Athletes in Iran. Journal of Management Practices, Humanities and Social Sciences, 2(1), 6–10. https://doi.org/10.33152/jmphss-2.1.2.

Strandbu, A., Bakken, A., & Sletten, M. A. (2019). Exploring the Minority-Majority Gap in Sport Participation: Different Patterns for Boys and Girls? Sport in Society, 22(4), 606–624. DOI: 10.1080/17430437.2017.1389056.

Berliana, B., Hamzah, A., & Simbolon, M. (2021). Gender Issue in Masculine Sports in Indonesia: A Case Study. Annals of Applied Sport Science, 9(1). http://aassjournal.com/article-1-941-en.html.

Women in Sport (2018). Workplace Culture in Sport. Retrieved from http://www.womeninsport.org/wp-content/uploads/2018/06/Beyond-30-Workplace-Culture-in-Sport-report.pdf?x99836

Giroux, Marilyn, dan Jessica Vredenburg (2018). Women in sports: double standards a double fault. Retrieved from https://theconversation.com/women-in-sports-double-standards-a-double-fault-103082

Tan, Y. & Yip, W. (2021, August 10). Why South Korean Women are Reclaiming Their Short Hair. BBC News. Retrieved from https://www.bbc.com/news/world-asia-58082355.

McCarthy, B. (2021). ‘Who unlocked the kitchen?’: Online misogyny, YouTube comments and women’s professional street skateboarding. International Review for the Sociology of Sport. https://doi.org/10.1177/10126902211021509

Baderhausen, K. (2015, January 23). Retrieved from www.forbes.com: www.forbes.com/sites/kurtbadenhausen/2015/01/23/average-mlb-salary-nearlydouble-nwls

Perasso, V. (2017, October 23). 100 Women: Is the Gender Pay Gap in Sport Really Closing? Retrieved from www.bbc.com: www.bbc.com/news/world-41685042.

Konvensi ILO (International Labour Organizations) Nomor C100

International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (ICEDAW)

Sri Wiyanti Eddyono (2007). HAK ASASI PEREMPUAN DAN KONVENSI CEDAW. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. https://lama.elsam.or.id/downloads/1262842368_08._Konvensi_CEDAW.pdf , Diakses pada 26 Agustus 2021

“Feminism in Legal Jurisprudence and Social Analysis”. UKEssays, November 2018, https://www.ukessays.com/essays/sociology/feminism-legal-jurisprudence-social-8682.php, Diakses pada 29 Agustus 2021

“Pay Equity & Discrimination | Institute For Women’s Policy Research”. Institute for Women’s Policy Research, https://iwpr.org/issue/employment-education-economic-change/pay-equity-discrimination/. Accessed 29 Agustus 2021.

Scheadler, T. & Wagstaff, A. (2018). Exposure to Women’s Sports: Changing Attitudes Toward Female Athletes. The Sport Journal. Retrieved from https://thesportjournal.org/article/exposure-to-womens-sports-changing-attitudes-toward-female-athletes/.

Allen, K. & Frisby, C. M. (2017). A Content Analysis of Micro Aggressions in News Stories about Female Athletes Participating in the 2012 and 2016 Summer Olympics. Journal of Mass Communication & Journalism, 7(3). DOI: 10.4172/2165–7912.100033.

Frisby, C. (2017). Sexualization and Objectification of Female Athletes on Sport Magazine Covers: Improvement, Consistency, or Decline? International Journal of Humanities and Social Science, 7(6), 21–32. Retrieved from https://www.ijhssnet.com/journals/Vol_7_No_6_June_2017/3.pdf.

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451