Dinamika RUU PKS

HopeHelps UGM
12 min readNov 20, 2021

--

Oleh HopeHelps UGM & BEM KMFT UGM

Kekerasan seksual menjadi permasalahan serius di Indonesia. Survei INFID terhadap 2.210 responden di seluruh Indonesia pada Mei-Juli 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 71,8% responden pernah mengalami kekerasan seksual. Jumlah tersebut didominasi oleh pelecehan seksual, yaitu sebanyak 65,1% responden. Bentuk kekerasan seksual lainnya yang dialami responden adalah pemaksaan perkawinan (27,4%); pemaksaan kontrasepsi (12,3%); pemaksaan aborsi (12,2%); melakukan kegiatan seksual karena disakiti (8,4%); melakukan kegiatan seksual karena diancam disakiti (8,4%); melakukan kegiatan seksual karena iming-iming (7,1%); melakukan kegiatan seksual karena diancam tidak dibiayai hidup (6,3%); melakukan kegiatan seksual karena diancam, dipecat, dan alasan lainnya (6%) (Bayu, 2021).

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2018–2021, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 2017 hingga 2020 cenderung mengalami penurunan. Meskipun terjadi tren penurunan, angka kekerasan seksual masih cukup tinggi. Kekerasan seksual tersebut terjadi baik dalam ranah rumah personal (privat) maupun ranah publik dan komunitas. Pada ranah personal, kasus kekerasan seksual mencakup kasus perkosaan, persetubuhan dan eksploitasi seksual, pencabulan, incest, marital rape, pelecehan seksual, percobaan perkosaan, cyber crime/kekerasan berbasis gender siber (KBGS), perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Pada ranah publik/komunitas, kasus kekerasan seksual meliputi pencabulan, perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan, melarikan anak, dan bentuk kekerasan seksual lainnya.

Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2018, 2019, 2020, dan 2021

*Catatan: Data kasus kekerasan seksual di atas menyesuaikan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan seksual yang dicatat tidak selalu sama. Sebagai contoh pada tahun 2019, Komnas Perempuan mencantumkan data kasus cyber crime ranah publik. Namun pada tahun 2017, 2018, dan 2020, data kasus cyber crime tidak dicantumkan.

Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual

Masyarakat masih memandang perempuan sebagai simbol kesucian dan moralitas. Pandangan ini mengakibatkan perempuan korban kekerasan seksual merasa takut dan malu untuk mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya. Timbul kekhawatiran akan dianggap ‘tidak suci’ yang menyebabkan korban memilih menutup rapat-rapat pengalaman pahitnya. Kondisi tersebut menempatkan kekerasan seksual sebagai pelanggaran kesusilaan semata, hingga mengesampingkan hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. Kekerasan seksual juga tak hanya berupa pemerkosaan atau pelecehan fisik. Komnas Perempuan membagi kekerasan seksual kedalam 15 bentuk sebagai berikut:

  1. Perkosaan. Merupakan bentuk pemaksaan berupa ancaman kekerasan baik fisik maupun psikologis untuk melakukan hubungan seksual dengan memasukkan penis ke arah vagina, anus, maupun mulut korban. Istilah lain dari perkosaan adalah pencabulan, yang biasanya dilakukan terhadap seseorang berusia di bawah 18 tahun.
  2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan. Tindakan ini menyerang seksualitas sehingga menimbulkan perasaan takut atau penderitaan fisik pada korbannya. Intimidasi dapat secara langsung atau melalui media elektronik. Pada tahap yang lebih parah, korban bahkan mengalami ancaman pemerkosaan.
  3. Pelecehan Seksual. Pelecehan seksual dapat berupa sentuhan fisik maupun non fisik yang targetnya adalah organ seksual maupun seksualitas korban. Tindakan-tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual, diantaranya, siulan, ucapan yang bernuansa menggoda, menunjukkan materi bermuatan pornografi, dan tindakan bernuansa seksualitas lain yang melukai martabat korban.
  4. Eksploitasi Seksual. Eksploitasi seksual biasanya terjadi karena penyalahgunaan ketimpangan kekuasaan untuk tujuan kepuasan seksual. Contohnya adalah prostitusi dan iming-iming pernikahan untuk mendapatkan layanan seksual dari perempuan.
  5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual. Tindakan ini dapat terjadi dalam batas-batas negara maupun lintas negara. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual erat kaitannya dengan eksploitasi seksual. Korban dipaksa, diancam, diculik, ditipu, bahkan pelaku yang notabene memiliki posisi lebih kuat akan memanfaatkan korbannya untuk tujuan prostitusi.
  6. Prostitusi Paksa. Prostitusi paksa biasanya dilakukan dengan tipu daya, acaman, bahkan kekerasan agar korban mau menjadi pekerja seks. Misalnya dengan penyekapan dan penjeratan hutang.
  7. Perbudakan Seksual. Dalam perbudakan seksual, pelaku merasa berkuasa atas korban sehingga menganggap dirinya sebagai “pemilik” atas tubuh korban. Perasaan ini menimbulkan tindakan pemaksaan terhadap korban untuk memenuhi hasrat seksual pelaku.
  8. Pemaksaan Perkawinan dan Cerai Gantung. Termasuk di dalamnya adalah pemaksaan perkawinan mengikuti pilihan orang lain, menikahkan korban pemerkosaan dengan pelaku, praktik “Kawin Cina Buta”, dan pemaksaan untuk tetap berada dalam ikatan perkawinan.
  9. Pemaksaan Kehamilan. Pemaksaan kehamilan dapat berupa pelarangan penggunaan alat kontrasepsi atau memaksa untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dikehendaki (misalnya pada korban pemerkosaan).
  10. Pemaksaan Aborsi. Pemaksaan aborsi dilakukan dengan memaksa ibu hamil untuk menggugurkan kandungannya melalui berbagai tekanan dan ancaman.
  11. Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi. Termasuk dalam kategori ini apabila dilakukan tanpa persetujuan penuh dari perempuan karena ia tidak memiliki pengetahuan maupun kecakapan hukum. Sterilisasi biasanya dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS dan penyandang disabilitas.
  12. Penyiksaan Seksual. Penyiksaan seksual merupakan tindakan penyerangan terhadap organ seksualitas perempuan secara sengaja untuk mendapat pengakuan maupun sebagai bentuk hukuman.
  13. Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual. Merupakan cara menghukum yang menimbulkan rasa sakit, malu, penderitaan, dan ketakutan. Termasuk di dalamnya adalah hukuman cambuk dan hukuman yang merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma kesusilaan.
  14. Praktik Tradisi yang Bernuansa Seksual dan Membahayakan atau Mendiskriminasi Perempuan. Praktik tradisi ini dapat menimbulkan cidera fisik, psikologis, maupun seksual pada perempuan. Biasanya digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan. Contohnya adalah sunat perempuan.
  15. Kontrol Seksual Termasuk Melalui Aturan Diskriminatif Beralasan Moralitas dan Agama. Kontrol seksual merupakan tindakan atau ancaman langsung maupun tidak langsung untuk memaksakan perempuan menginternalisasi simbol-simbol tertentu agar dianggap sebagai “perempuan baik-baik’. Misalnya dengan pemaksaan busana, jam malam, larangan mengunjungi tempat tertentu, atau larangan berada di tempat tertentu bersama lawan jenis.

Status Quo, Budaya, dan Dosa Masa Lalu
Sebelum adanya RUU PKS, payung hukum yang mewadahi tindak perilaku pemerkosaan hanya Pasal 285 KUHP dan Pasal 423 Ayat 1 dan 2 KUHP. Pada Undang-Undang KUHP, Pasal tersebut lebih menitikberatkan kepada bentuk pemerkosaan dan hukuman bagi pelaku, namun belum sama sekali membahas tentang hak-hak korban. Berikut 8 poin pada UU KUHP pasal 423 Ayat 1 dan 2

  1. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
  2. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
  3. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
  4. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
  5. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya;
  6. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahuinya bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
  7. Dalam keadaan seperti tercantum di atas, lalu laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan;
  8. Laki-laki memasukkan suatu benda yang buksan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan

Sedangkan Pasal 285 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perksaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Karena belum adanya kejelasan terhadap peraturan yang mengatur tentang kekerasan seksual lebih lanjut, maka Dirancanglah RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Perjalanan panjang peraturan yang mengatur tentang tindakan kekerasan seksual dimulai untuk diusulkan pada masa tahun 2012, Oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dimulai untuk dibahas pada tahun 2014 dan kemudian memberikan laporan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tentang kasus Kekerasan Seksual di Indonesia pada tahun 2016.

Pada Tahun 2016, RUU PKS sebenarnya telah menjadi Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) Untuk segera disahkan. Namun, tahun 2016 berlalu tanpa adanya pengesahan. Pada Desember 2019, RUU P-KS kembali masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020–2024, Akan tetapi, dalam Draft RUU PKS versi Baleg DPR RI ini, ternyata menghilangkan 85 pasal yang sebelumnya termasuk dalam Draft RUU PKS versi Prolegnas 2016.

Pada Draft RUU PKS Versi Prolegnas 2016, bentuk Kekerasan Seksual ada 15 yaitu:

  1. Perkosaan
  2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan
  3. Pelecehan Seksual
  4. Eksploitasi Seksual
  5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual
  6. Prostitusi Paksa
  7. Perbudakan Seksual
  8. Pemaksaan Perkawinan dan Cerai Gantung
  9. Pemaksaan Kehamilan
  10. Pemaksaan Aborsi
  11. Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi
  12. Penyiksaan Seksual
  13. Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual
  14. Praktik Tradisi yang Bernuansa Seksual dan Membahayakan atau Mendiskriminasi Perempuan
  15. Kontrol Seksual Termasuk Melalui Aturan Diskriminatif Beralasan Moralitas dan Agama

Kemudian direduksi menjadi 9 Poin pada RUU PKS Versi Prolegnas 2019:

  1. Pelecehan seksual
  2. Perkosaan
  3. Pemaksaan perkawinan
  4. Pemaksaan kontrasepsi
  5. Pemaksaan pelacuran
  6. Pemaksaan aborsi
  7. Penyiksaan seksual
  8. Perbudakan seksual
  9. Eksploitasi Seksual

Kemudian RUU PKS Kembali menjadi bahasan pada Prolegnas Agustus 2021. Yang namanya sudah berubah menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Dalam pembahasan yang terakhir ini, RUU TPKS kembali mengalami pengurangan substansi dari 9 Bentuk Kekerasan Seksual menjadi 4 bentuk yaitu :

  1. Pelecehan seksual
  2. Pemaksaan kontrasepsi
  3. Pemaksaan hubungan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain

Dalam RUU PKS versi Baleg DPR RI, terminologi ‘penghapusan’ dalam judul pun telah dihapus dan namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hilangnya terminologi tersebut menitikberatkan pada penindakan tindak pidana dan bukan menghapus kekerasan seksual. Perubahan tersebut mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum. Hambatan ini bukanlah kali yang pertama, RUU PKS ini sendiri sempat ditentang oleh salah satu fraksi di DPR karena mereka menganggap undang-undang ini akan melegalkan perilaku zina dan mendukung kelompok yang bertentangan dengan ideologi yang mereka anut. Tentu hal ini adalah suatu kesalahan berfikir (itupun jika tidak ingin dibilang bahwa dewan kita yang terhormat sudah termakan oleh hoaks dan omong kosong belaka) dan confirmation bias yang terjadi di kalangan penguasa.

Lika-liku dan ini terjadi tak lepas karena adanya faktor-faktor budaya yang terdapat di masyarakat. “…Menjaga virginitas merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dan bukan menjadi kewajiban laki-laki karena virginitas perempuan lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri…” (Arioka, 2010). Hal ini menjadi ketidakadilan gender yang nyata dan dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita masih banyak yang mengglorifikasi keperawanan bagi perempuan yang dikemudian hari paham ini melahirkan stereotype bahwa “wanita baik-baik adalah wanita yang masih perawan”. Stereotype ini begitu lekat di benak masyarakat kita, dimana pada akhirnya doktrin budaya ini menitikberatkan nilai dan sifat baik buruknya perempuan hanya dari sexual recordnya semata. Ditambah dengan adanya doktrin agama semakin memperkeruh keadaan ini. “…Dalil-dalil yang tersembunyi di dalam teks tersebut muncul dan menjadi wacana masyarakat kemudian menyebar menjadi kontrol bagi perempuan. dalam hal ini, perempuan kemudian menjadi objek yang dikontrol…” (Setiani, 2013)

Kita tidak bisa menafikan bahwa doktrin-doktrin yang berlaku di masyarakat atas nama “budaya” ini telah melahirkan banyak fenomena sosial yang merugikan sebagian masyarakat dan menguntungkan sebagian yang lainnya, salah satunya adalah pelecehan seksual. Jika dilihat dari sisi sosial, pelecehan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender dimana pelaku yang mayoritas adalah laki-laki merasa memiliki kuasa dan kebebasan lebih karena tidak memiliki tanggung jawab sosial masyarakat untuk menjaga virginitasnya. Ketimpangan tuntutan yang diberikan oleh masyarakat ini secara tidak langsung juga menimbulkan ketimpangan kekuasaan melalui perbedaan kebebasan yang berbeda diantara kepada dua kelompok masyarakat yang berbeda. Sehingga lambat laun muncul ketimpangan kuasa dimana laki-laki memiliki kontrol lebih dan melahirkan budaya patriarki di kalangan masyarakat kita.

Pelecehan seksual atau yang lebih luasnya seperti kekerasan seksual tidak lahir dari keserakahan seperti kasus pencurian, kekerasan seksual terlahir dari cara pikir keliru yang secara ironis diciptakan melalui doktrin yang tersebar di masyarakat dan disebut budaya. Oleh karena itu perlu adanya upaya penanganan yang konkret dan sistemik yang dijalankan oleh negara melalui perundang-undangan. Inilah mengapa RUU PKS penting untuk disahkan karena dengan adanya bentuk undang-undang maka diharapkan akan terjadi pergeseran budaya melalui aturan yang memaksa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Ditambah dengan adanya undang-undang ini pula menjadi legitimasi dari negara bahwa kekerasan seksual adalah masalah bersama yang difasilitasi negara. Selain itu yang paling penting dengan hadirnya undang-undang penghapusan kekerasan seksual ini akan lebih berpihak kepada hak-hak yang seharusnya korban dapatkan yang selama ini absen dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih jauh bahkan tak jarang justru mendiskreditkan korban yang sebenarnya sudah mengalami kerugian dan dampak buruk yang besar dalam hidupnya.

Perjuangan memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di Indonesia memasuki bagian baru. Pada 30 Agustus 2021, Badan Legislatif (BALEG) DPR RI mengeluarkan draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) baru. RUU PKS baru versi BALEG DPR RI ini memuat banyak sekali perubahan. Perubahan tersebut di antaranya, dihapusnya pasal yang berhubungan dengan hak-hak korban, digantinya judul RUU PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan juga hanya diakuinya 4 jenis kekerasan seksual dari 9 kekerasan seksual.

Beberapa substansi pasal yang dihilangkan di RUU TPKS oleh BALEG DPR RI memberikan bahaya dan ancaman bagi para korban kekerasan seksual. Bahaya dan ancaman tersebut di antaranya:

  1. Hilangnya jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
  2. Peraturan yang menyangkut hak korban hanya disebutkan di bagian ketentuan umum. Tidak ada pengaturan lebih lanjut untuk memenuhi jaminan hak korban mengenai penanganan, perlindungan, dan pemulihan dapat merugikan korban.
  3. Tidak adanya pengaturan untuk korban kekerasan seksual dengan disabilitas.

Seperti yang diketahui korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki resiko yang lebih rentan. Dibutuhkan juga perspektif disabilitas untuk proses pencarian keadilan. Tidak adanya mekanisme khusus yang mengatur tentang perlindungan korban kekerasan seksual dengan disabilitas akan mempersulit korban untuk mencari keadilan.

  1. Kosongnya pengaturan kekerasan seksual berbasis gender online.
  2. Seperti yang kita ketahui pandemi COVID-19 membuat ruang interaksi masyarakat berpindah menggunakan internet. Meskipun interaksi sudah terbatas menggunakan internet tetapi, kekerasan seksual masih dapat terjadi. Tidak adanya payung hukum yang mengatur masalah ini membuat korban tidak dilindungi.
  3. Dihapusnya ketentuan tindak pidana pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
  4. Penghapusan ini merupakan bentuk pengabaian terhadap hak korban dan juga bentuk invalidasi pengalaman para korban.

Banyaknya perubahan dan lambannya proses pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah serius menangani masalah seperti ini. Belakangan ini, pemberitaan mengenai pengalaman-pengalaman miris korban pencari keadilan mulai naik ke permukaan. Seorang ibu di Luwu Timur yang melaporkan bahwa anak-anaknya menjadi korban pemerkosaan ayah mereka yang merupakan polisi malah mendapati penyelidikan diberhentikan tanpa hasil dan data dirinya disebarluaskan hingga keamanannya terancam. Korban lain yang ingin melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya ditolak kepolisian karena alasan vaksinasi. Lebih jauh lagi belakangan ini yang justru sering kita temui adalah pemerintah justru melindungi para pelaku dengan melakukan pembiaran bahkan tak adapula kasus dimana “oknum” pemerintahan sendiri itulah yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Padahal, anekdot-anekdot di atas hanyalah pucuk dari fenomena gunung es kasus kekerasan seksual. Membuka diri untuk membicarakan pengalaman kekerasan seksual, terlebih menguatkan diri untuk mengambil tindakan lanjut adalah sebuah proses yang sangat berat bagi korban. Tidak hanya ia harus melawan traumanya sendiri, lingkungan masyarakat dan institusi pemerintahan yang belum berprinsip korban menghadirkan risiko persekusi sosial bahkan ancaman keamanan bagi korban yang buka suara. Menjadi sangat disayangkan ketika dalam perkara yang genting, serius, dan semua orang terlepas dari interseksionalitas identitasnya rentan ini, pemerintah justru lamban dalam mengesahkan RUU PKS, menjegal berbagai upaya untuk menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual bagi seluruh masyarakat. Sementara prinsip keberpihakan korban yang menjadi landasan pencarian keadilan bagi korban belum menampakkan tanda-tanda kehidupan pada institusi dan instrumen keadilan yang ada di Indonesia.

Kekerasan seksual, senada dengan berbagai tindak kejahatan, tidak memandang bulu siapa yang menjadi korban, bahkan pelaku. Namun, perlu dicatat bahwa terdapat kelompok-kelompok yang memang lebih rentan terhadap kekerasan seksual karena intrikasi dari berbagai relasi kuasa yang timpang dan budaya yang secara inheren masih patriarkis. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa kekerasan seksual adalah isu yang sebenarnya sangat dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Turut membahu dalam usaha menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual berarti juga membangun keamanan untuk kita sendiri, mengingat bagaimana ketika berbicara kekerasan seksual, siapapun bisa menjadi korban dan siapapun bisa menjadi pelaku.

Latar-latar ini menjadi momentum penting untuk dilakukannya pengesahan RUU PKS dengan substansi yang proporsional sehingga mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat dari kekerasan seksual, berprinsip korban, dan sanksi yang jelas terhadap pelaku. Maraknya kasus kekerasaan seksual tidak terjadi akhir-akhir ini saja, ada ribuan kasus yang sudah terjadi dan tidak pernah diusut karena korban selain berada dalam relasi kuasa yang rendah, seringkali mereka merasa pesimis dengan jaminan perlindungan yang akan diterima baik dari segi hukum maupun jenis pendampingan lainnya jika berbicara mengenai kasus pelecehan yang dialaminya. Pengesahan RUU PKS ini bisa menjadi momentum penting dalam membangkitkan optimisme korban kekerasan seksual untuk menuntut kembali hak-nya serta perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian selama jalannya proses persidangan. Sehingga, membuka ruang dan harapan atas kasus yang pernah menimpa para korban di masa lalu. Dengan tren peningkatan nilai ‘progresif’ yang mulai diadopsi oleh negara-negara lain dalam merespon kekerasan seksual, perancang kebijakan di Indonesia seharusnya bisa memahami urgensi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bayu, D. J. (2021). 71,8% Masyarakat Indonesia Pernah Alami Kekerasan Seksual. Retrieved from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/03/718-masyarakat-indonesia-pernah-alami-kekerasan-seksual.

Komnas Perempuan. (2018). Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme: Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2017. Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2018-tergerusnya-ruang-aman-perempuan-dalam-pusaran-politik-populisme-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2017.

Komnas Perempuan. (2019). Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Wujud Komitmen Negara: Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2018. Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2019-korban-bersuara-data-berbicara-sahkan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-sebagai-wujud-komitmen-negara-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2018.

Komnas Perempuan. (2020). Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan (Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019). Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2020-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-kebijakan-penghapusan-kekerasan-seksual-menciptakan-ruang-aman-bagi-perempuan-dan-anak-perempuan-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2019.

Komnas Perempuan. (2021). Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 (Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020). Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2021-perempuan-dalam-himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19.

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451