Budaya Pengenyahan (Cancel Culture) Sebagai Alternatif Penyudutan Pelaku dan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

HopeHelps UGM
8 min readJan 31, 2022

--

PENDAHULUAN

Dinamika sosial di ranah informatika digital belakangan ini kerap kali dipenuhi dengan gelombang baru dari penanganan isu fenomena kekerasan seksual. Bentuk fenomena budaya pengenyahan atau lebih dikenal dengan cancel culture menjadi salah satu alternatif dan metode advokasi yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk pengawalan pelaku kekerasan seksual dengan adanya penuntutan tanggung jawab terhadap pelaku dan diimplementasikan dengan sanksi sosial sebagai efek jera. Pada dasarnya dalam dinamika pengenyahan, mayoritas pelaku yang menjadi sorotan media sosial berasal dari figur publik. Figur publik yang dikenal memiliki strata sosial tersendiri dan dalam stigma pragmatis dianggap “sulit digapai” pun dapat mengalami tuntutan serta pengenyahan didasari kesadaran masyarakat, sehingga kesenjangan struktural pada akhirnya mampu didobrak dalam ranah tersebut (Loiselle, 2021). Bentuk cancel culture lebih jauh diwujudkan melalui bentuk boikot, petisi, dan pembatasan privilese bagi pelaku yang dienyahkan. Hal ini mampu meruntuhkan dinding relasi kuasa secara efektif melalui lingkaran opini publik yang pada akhirnya dapat menyudutkan pelaku dan mencegah terulangnya kembali maraknya tindakan kekerasan seksual.

Mengenal Apa itu Cancel Culture

Menurut Velasco (2020, p.2), Cancel Culture dapat didefinisikan sebagai suatu taktik/strategi yang mencoba untuk menghapus seseorang dari wacana publik, yang dilakukan dengan mempermalukan seseorang di depan umum, deplatforming, atau bahkan menuntut seseorang untuk dipecat seseorang dari pekerjaannya dan kehilangan status sosialnya. Hal ini serupa dengan pandangan Norris yang mendefinisikan cancel culture sebagai sebuah upaya untuk memecat seseorang dari pekerjaan mereka, mempermalukan seseorang atas tindakan buruknya, dan menuntut tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Berbeda dengan Velasco dan Norris, Profesor Anne H. Charity Hudley, Pakar budaya dan linguistik Afrika-Amerika di University of California, Santa Barbara, membagi definisi cancel culture menjadi dua definisi berbeda. Pertama, cancel culture didefinisikan memiliki basis boikot yang mana berupa penarikan dukungan finansial, politik, sosial, dan ekonomi. Penarikan dukungan ini juga dilakukan dengan cara yang memberi tahu orang lain bahwa mereka juga harus menarik dukungan mereka terhadap pelaku. Sedangkan definisi yang kedua, cancel culture diartikan sebagai upaya untuk membungkam sesuatu atau seseorang. Kedua definisi ini sedikit overlap, tetapi ada perbedaan di dalamnya karena yang satu lebih condong kepada menarik perhatian publik dan definisi kedua lebih condong kepada usaha melakukan pembungkaman kepada orang lain.

Dari berbagai penjelasan di atas, maka Cancel culture dapat diartikan sebagai suatu bentuk perbuatan yang bertujuan untuk mengeluarkan, mengucilkan, dan menarik segala dukungan publik bagi si pelaku yang mana tindakan atau perkataannya menyinggung atau menyerang suatu individu atau kelompok minoritas dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Cancel culture tidak hanya merupakan bentuk boikot dari masyarakat, tetapi juga merupakan bentuk sanksi sosial dan tuntutan akuntabilitas kepada pelaku.

Awal Mula Terjadinya Cancel Culture

Istilah cancel culture ini sebenarnya lahir dari bahasa slang di China di tahun 1991, yakni “renrou sousuo” yang artinya human flesh search. Istilah ini merujuk kepada aktivitas para pengguna internet di China untuk mencari informasi tentang orang-orang tertentu yang dicurigai melakukan penyimpangan moral, kemudian data orang tersebut akan disebarkan kepada publik secara offline. Istilah ini agak mirip dengan doxing, namun seiring berjalannya waktu cancel culture tidak lagi dimaknai sebagai tindakan doxing.

Selanjutnya, di tahun 2010, ada sebuah akun di Tumblr dengan nama Your Fave is Problematic yang mana akun tersebut mengunggah hal-hal bermasalah yang dilakukan oleh para public figure dan para public figure itu kemudian mendapatkan cancel culture berupa hujatan dan hilangnya dukungan publik bagi mereka. Tidak berhenti sampai di situ, Fenomena cancel culture ini kembali heboh di tahun 2014 yang muncul melalui Gerakan #MeToo yang menjadi trending topic di media sosial. Awalnya, gerakan ini disampaikan oleh orang berkulit hitam untuk menyuarakan diskriminasi dan kekerasan seksual yang mereka alami di tempat mereka kerja dengan tujuan untuk menekan pelaku agar mau bertanggung jawab. Dari hal-hal itulah kemudian cancel culture digunakan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan sanksi sosial, menunjukkan ketidaksetujuan atas tindakan seseorang atau sebagai kritik ringan yang kemudian bisa berujung pada pemboikotan.

Meninjau Cancel Culture dari 2 Sudut Pandang

Fenomena cancel culture yang marak terjadi saat ini, tidak hanya menghakimi tindakan yang terjadi di masa sekarang tetapi juga tindakan di masa lalu. Oleh karena prosesnya yang melibatkan skala sosial besar dan berlangsung cenderung cepat, cancel culture melahirkan sisi positif dan juga negatif.

Jika dilihat dari sisi positifnya, cancel culture ini melibatkan skala sosial yang besar sehingga dinilai mampu dapat memberikan efek yang jera kepada pelaku, dan dapat berdampak terhadap bidang sosial bahkan ekonomi sang pelaku. Serangan cancel culture dapat membuat pelaku dikucilkan dari kehidupan sosialnya bahkan membuat pelaku kehilangan status sosialnya. Cancel culture juga dapat menutup potensi ekonomi bagi pelaku seperti diberhentikan dari pekerjaannya. Selain itu, cancel culture dapat menghentikan tindakan pelaku secara langsung. Hal ini berarti pelaku tidak bisa atau sulit untuk mengulangi tindakan tersebut karena semua orang telah mengetahui sehingga meminimalisir korban-korban selanjutnya.

Cancel culture juga dapat membantu masyarakat yang kurang terkenal ataupun tidak memiliki kuasa untuk memperoleh keadilan. Seperti yang kita ketahui, relasi kuasa masih menjadi suatu permasalahan krusial hingga saat ini. Tidak jarang orang-orang yang berasal dari kalangan bawah sulit untuk memperoleh keadilan karena terdapat relasi kuasa sehingga pelaku dapat menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan cancel culture, pelaku tidak diberikan celah untuk membela diri dengan menggunakan kekuasaannya. Selain itu cancel culture dianggap dapat mempercepat proses hukum terhadap pelaku. Seringkali ketika terjadi suatu kasus seperti kasus kekerasan seksual, kasus tersebut terkesan sulit untuk ditangani, Apalagi ketika kasus tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa. Tak jarang, kasus kekerasan seksual baru ditindaklanjuti ketika kasus tersebut telah tersebar luas di masyarakat dan pelaku telah mendapat sanksi sosial berupa cancel culture.

Dari sudut pandang lain, cancel culture juga dapat menimbulkan beberapa dampak negatif karena cancel culture tersebarluaskan dengan sangat cepat, maka seringkali sulit untuk mendengarkan cerita dari 2 perspektif. Hal ini kemudian dapat menyebabkan pembunuhan karakter serta melanggar pertukaran bebas ide, pikiran, dan ucapan. Orang-orang cenderung cepat percaya dengan cerita yang pertama terungkap tanpa mengetahui lebih dalam kebenaran akan cerita tersebut. Karena cerita yang disebarkan belum dapat dipastikan kebenarannya, hal ini meungkinkan adanya kesalahpahaman yang dapat berujung dengan pencemaran nama baik. Di Indonesia sendiri, hal ini dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dan berpotensi dikenai ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun.

Basis Cancel Culture sebagai Sumber Advokasi Media Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual

Dengan berbagai bentuk pendekatan, cancel culture mampu dijadikan bentuk advokasi dalam konteks sebagai bagian instrumen yang memberikan penegasan sentimen terhadap pelaku. Adapun cancel culture mampu mengisi berbagai konteks tersebut sebagai upaya primer maupun sekunder dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Beberapa bentuk aksi pengenyahan dapat disandingkan dengan upaya pengentasan hukum yang implementatif seperti: petisi; boikot (dari masyarakat atau dari perusahaan-organisasi-industri-afiliasi yang berkaitan erat dengan pelaku); efek jera; dan lanjutan advokasi yang dapat diekspansi melalui ranah hukum. Batasan basis advokasi ini juga menyinggung mengenai norma dan bagaimana eksistensi lembaga yang memiliki otoritas dapat mengabsahkan aksi budaya pengenyahan sebagai bentuk efektif dalam menciptakan perubahan perilaku masyarakat ataupun narasi terhadap relasi pelaku-korban (Burmah, 2021).

Advokasi kekerasan seksual dengan menggunakan cancel culture sebagai instrumen salah satunya terjadi pada tahun 2004 di Miryang, Korea Selatan. Seorang siswi SMP berusia 14 tahun berinisial C datang ke Miryang, untuk bertemu dengan remaja SMA yang ia kenal secara virtual. Namun remaja SMA itu memerkosa C secara brutal. Tindakan bejat itu direkam dan dijadikan alat blackmail agar C tidak melapor. Dengan bekal rekaman itu pula pelaku menyuruh C untuk datang lagi, dari kota Ulsan yang jaraknya lebih dari 40 kilometer, dengan membawa serta adik perempuan dan kakak sepupu. Ketiganya menjadi korban kebejatan remaja-remaja yang berasal dari tiga sekolah berbeda. C bahkan diperkosa hingga 10 kali. Dalam sangkala penyelidikan, awalnya polisi hanya menangkap 3 dari 41 orang yang terlibat. Warga yang ramai-ramai menghujat membuat polisi menangkap 9 orang baru dan menetapkan 29 remaja sebagai pelaku tanpa penahanan. Dalam satu catatan, disebutkan pelaku mencapai 44 dan setiap orangnya tak kurang memerkosa sebanyak 4 kali.

Dalam prosesnya, dinamika hukum dan pengadilan yang diberlakukan tidak mencapai hasil yang dapat melindungi hak-hak korban dan menuntut pelaku secara adil. Salah satu pertimbangan terbesar adalah mereka masih berstatus remaja; belum dewasa. Hanya sebagian yang dikirim ke pengadilan remaja. Bahkan polisi membeberkan identitas lengkap korban kepada publik. Hal ini membuat mereka jadi sasaran balas dendam rekan dan orang tua pelaku. Salah satu keluarga mengancam korban agar berhati-hati karena sudah melaporkan putra mereka ke polisi.

Kemudian faktor yang meringankan vonis hakim datang dari ayah salah satu korban sendiri. Ayah korban membuat kesepakatan dengan keluarga pelaku untuk meringankan hukuman pelaku usai menerima sejumlah uang. “Ayah korban ini, yang bahkan tidak tahu apa yang putrinya alami tahun sebelumnya sampai kasus ini diangkat ke publik, dipanggil untuk mengklaim otoritas patriarkinya dan menguasai seksualitas anaknya; untuk kesekian kalinya, patriarki secara ajaib terselamatkan,” catat Joo-hyun Cho dalam artikel berjudul Intersectionality Revealed: Sexual Politics in post-IMF Korea (2005). Warga yang tak terima dengan ringannya vonis akhirnya melakukan apa yang pada hari ini kita sebut cancel culture, kepada polisi dan keluarga pelaku. Mereka menyebar informasi pribadi dan foto pelaku di internet. Kota Miryang juga dicap sebagai “rumah bagi pemerkosa” dan “kota udik”. Dalam kasus ini cancel culture telah menjadi opsi terakhir bagi keputusasaan warga atas penegakan hukum yang acapkali ternoda nilai patriarki dan misogini.

Adanya contoh kasus yang telah terjadi dapat dijadikan sebagai bentuk ajuan dan implementasi fungsi budaya pengenyahan sebagai bagian dari instrumen yang efektif dalam menciptakan narasi sentimen terhadap pelaku. Adapun bentuk penggunaan cancel culture dijadikan alternatif sekunder, namun labelisasi terhadap kasus menciptakan efek berkesinambungan terhadap struktur sosial yang terjadi di Miryang sehingga terdapat dampak yang tidak hanya dirasakan oleh pihak pelaku, tetapi muncul reevaluasi nilai dari keseluruhan masyarakat dalam kota tersebut (Burmah, 2021). Pada akhirnya tindakan tersebut mampu divalidasi dan diikuti oleh masyarakat dengan adanya penegasan dari bentuk narasi yang diinstitusionalisasikan.

KESIMPULAN

Merangkum dari berbagai definisi, Cancel culture dapat diartikan sebagai sebuah tuntutan akuntabilitas atau suatu bentuk perbuatan yang bertujuan untuk menarik segala dukungan publik bagi si pelaku yang mana tindakan, nilai, atau perkataannya menyinggung atau menyerang suatu individu atau kelompok minoritas dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, dapat berbentuk boikot maupun sanksi sosial. Cancel culture menjadi salah satu alternatif dan metode advokasi yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk pengawalan pelaku kekerasan seksual dengan adanya penuntutan tanggung jawab terhadap korban dan diimplementasikan dengan sanksi sosial sebagai efek jera. Seperti banyak hal lainnya, budaya pengenyahan ini memiliki sisi ganda, cancel culture dapat menjadi bentuk advokasi dalam konteks sebagai bagian instrumen yang memberikan penegasan sentimen dan memberikan efek jera terhadap pelaku, sekaligus dapat menyebabkan pembunuhan karakter serta melanggar pertukaran bebas ide, pikiran, dan ucapan hingga berujung dengan pencemaran nama baik.

REFERENSI

Burmah, L. (2021). The Curious Cases of Cancel Culture. Electronic Theses, Projects, and Dissertations. https://scholarworks.lib.csusb.edu/etd/1289

Christopher, C. (2021). “Cancel culture” seems to have started as an internet joke. Now it’s anything but. CBS News. Retrieved from https://www.cbsnews.com/news/cancel-culture-internet-joke-anything-but/

Clark, M. (2020). DRAG THEM: A brief etymology of so-called “cancel culture”. Sage Journals, 5(3–4), 88–92. https://doi.org/10.1177/2057047320961562

Louise, Abbie. (2021). OPINION: Embrace cancel culture, especially in the case of sexual misconduct. TSL News. Retrieved from https://tsl.news/cancel-culture-is-useful/

Nathaniel, Felix. (2022). Penanganan Kekerasan Seksual & Cancel Culture di Korea Selatan. Tirto.id. Retrieved from https://tirto.id/penanganan-kekerasan-seksual-cancel-culture-di-korea-selatan-gnNd

Perrin, A., & Ramshankar, M. (2021). Americans and ‘Cancel Culture’: Where Some See Calls for Accountability, Others See Censorship, Punishment. Pew Research Center: Internet, Science & Tech. Retrieved from https://www.pewresearch.org/internet/2021/05/19/americans-and-cancel-culture-where-some-see-calls-for-accountability-others-see-censorship-punishment/

Romano, A. (2021). What is cancel culture? How the concept has evolved to mean very different things to different people. Vox. Retrieved from https://www.vox.com/22384308/cancel-culture-free-speech-accountability-debate

Romano, Aja. (2021). Apakah “Cancel Culture”, Bisa di Cancel?. BabelInsight. Retrieved from https://www.babelinsight.id/content/read/1133/apakah-cancel-culture-bisa-di-cancel/lifestyle

Schneider, Christopher and Stacey Hannem. (2021). Louis C.K.: Sexual misconduct and the pursuit of justice. The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/louis-c-k-sexual-misconduct-and-the-pursuit-of-justice-174146

Velasco, C. (2020). You are cancelled: virtual collective consciousness and the emergence of cancel culture as ideological purging. Rupkatha Journal on Interdisciplinary Studies in Humanities, 12(5), 1–7. Retrieved from https://doi.org/10.21659/rupkatha.v12n5.rioc1s21n2

(Tim Penulis: Dwi Rizky Atiqah, Gantar Eliezer Sinaga, Isabella Valentine, Rifda Galela)

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451