Analisis Fenomena Sex Trafficking dan Perlindungan Hukum Terhadap Para Korban Perempuan

HopeHelps UGM
10 min readNov 18, 2021

--

Oleh: Khoirunnisa Jasmine dan Ardalena Romantika

Abstrak

Kekerasan seksual merupakan masalah yang berkelanjutan di masyarakat Indonesia. Kekerasan seksual sebagai fenomena datang dalam berbagai bentuk, dari agresi mikro (microaggressions) ke sisi spektrum yang lebih ekstrem, yaitu perdagangan seks. Perdagangan seks (sex trafficking) adalah peristiwa ilegal yang merupakan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi seksual terhadap korban untuk untungan pelakunya (traffickers). Jumlah korban perdagangan seks wanita Indonesia sangat mengejutkan, sebagian besar dikarenakan oleh faktor sosial-ekonomi Indonesia. Minimnya kesempatan pekerjaan di Indonesia memaksa mereka untuk mencari pekerjaan di luar negeri, biasanya di sektor domestik atau manufaktur, dengan sedikit atau tanpa bayaran. Permintaan tenaga kerja murah yang terus meningkat berkontribusi pada meningkatnya jumlah kasus perdagangan seks. Tidak hanya mereka dieksploitasi untuk dibayar rendah, bahkan tenaga kerja gratis, banyak korban, terutama wanita, jatuh ke dalam eksploitasi seksual.

Dalam kajian ini, kami akan menganalisis faktor-faktor yang terlibat dalam fenomena perdagangan seks yang khususnya melibatkan korban tenaga kerja Indonesia (TKI) wanita ilegal di luar negeri, secara khusus, menjelaskan mengapa pemerintah Republik Indonesia masih harus memiliki kewajiban untuk melindungi mereka meskipun status mereka sebagai pekerja tidak berdokumen, dengan meneliti undang-undang yang telah dibentuk untuk melindungi korban dan menghukum pelaku perdagangan seks. Selain itu, menentukan intervensi yang telah ada untuk mencegah perdagangan seks dan penyembuhan psikologis yang diperlukan untuk korban.

Keyword : Kekerasan seksual, TKI, perdagangan seks

Latar Belakang

Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,54 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk miskin sebanyak ini, seringkali mendorong seringkali mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong mencari penghidupan yang lebih mapan. Hal ini menyebabkan banyak orang Indonesia mencari peluang kerja di luar negeri, karena permintaan tenaga kerja murah yang tinggi. Pada dasarnya, perdagangan manusia dapat terjadi baik kepada pekerja laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki potensi yang sama untuk menjadi korban sex trafficking. Tetapi, kajian ini akan lebih fokus terhadap korban perempuan. Menurut riset International Organization for Migration, yang menceritakan pengalaman penyintas perdagangan seks, banyak perempuan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri untuk menafkahi keluarga mereka, karena keadaan yang memaksa mereka menjadi pencari nafkah tunggal.

Meskipun masih banyak masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa bekerja di negeri orang akan menghasilkan upah yang jauh lebih besar daripada bekerja di negeri sendiri. Tetapi kenyataannya, tanpa pendidikan formal atau koneksi, imigran hanya bisa mendapatkan apa yang dianggap sebagai pekerjaan bergaji rendah sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik, dan bergaji rendah lainnya. Namun, ketika gaji luar negeri dikonversi ke rupiah dianggap sebagai gaji yang lumayan banyak, yang menjadi alasan mengapa banyak WNI tetap bersedia untuk memikul penderitaan di luar negeri untuk menafkahi keluarganya. Bahkan, tak semua pekerja ini memilih keberangkatan secara resmi melalui Dinas Tenaga Kerja. Keberangkatan TKI tanpa perlindungan lembaga resmi negara seringkali berbuntut rumit dan bermuara pada kemungkinan terburuk, yakni perdagangan manusia (human trafficking.

Menurut United Nations Office on Drugs and Crime 2020 Global Report on Trafficking in Persons tentang korban perdagangan manusia berdasarkan gender dan usianya, jumlah paling banyak terjadi pada perempuan dewasa (46%) dibandingkan laki-laki dewasa (20%). Menurut laporan, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan. Anehnya, di 30% negara yang memberikan informasi tentang jenis kelamin pedagang, perempuan merupakan proporsi terbesar dari pedagang. Di beberapa bagian dunia, perdagangan perempuan adalah hal yang lumrah.Tak peduli negara mana yang ditujunya, korban perdagangan manusia juga tergolong dalam korban perbudakan, dimana para wanita akan dipaksa dan dieksploitasi untuk terlibat dalam prostitusi, pembatasan kebebasan, dan kekerasan lainnya. Pada dasarnya, karena perdagangan manusia dapat terjadi baik kepada pekerja laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki potensi yang sama untuk menjadi korban sex trafficking.

Salah satu sindikat human trafficking yang cukup menggemparkan adalah sindikat perdagangan perempuan di NTT dan Jakarta menuju Malaysia. Para pelaku memberikan iming-iming gaji tinggi dan jaminan tertentu dengan bekerja di luar negeri dan kemudian menyediakan paspor palsu untuk korban. Namun sesampainya di negara tujuan, korban justru mendapatkan kekerasan seksual dan dipaksa untuk menjadi PSK tanpa mendapatkan gaji.

Dalam kasus ini terlihat terjadi penipuan dan eksploitasi seksual terhadap para korban yang berujung pada tekanan psikis korban. Bahkan korban kesulitan meminta perlindungan dan menuntut ganti rugi karena pelaku bukan merupakan agen resmi. Sedangkan status mereka di negeri orang adalah sebagai TKI ilegal. Hal ini tentu sangat merugikan para korban yang harus menanggung trauma, kerugian materiil, bahkan pemulangan secara paksa tanpa memperoleh pemulihan atas kondisinya.

Dalam situasi seperti ini, hukum dan psikologi memegang peran penting untuk memulihkan dan memperjuangkan hak-hak korban. Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang terkait human trafficking, yakni UU №21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun penerapannya UU ini terhadap fenomena sex trafficking perlu dikaji lebih lanjut, mengingat ada trauma psikis yang perlu disembuhkan, dan perlu dilakukan pula kajian dalam perspektif gender untuk memberikan perlindungan yang tepat bagi masyarakat agar terhindar dari sex trafficking.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana fenomena sex trafficking terhadap WNI perempuan yang bekerja sebagai TKI ilegal?

2. Bagaimana perlindungan hukum dan perlindungan psikologis dalam hukum Indonesia bagi TKI ilegal perempuan yang menjadi korban sex trafficking?

Pembahasan

Berdasarkan Laporan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Tahun 2015–2019, terdapat 2.648 orang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking in Person), dengan korban terbanyak adalah perempuan, yakni 2.047 orang perempuan dewasa dan 272 orang anak perempuan. Sebenarnya, pelaku TPPO tidak menargetkan gender tertentu. Namun, mayoritas korbannya memang perempuan dan anak-anak karena merupakan kelompok yang rentan. Perempuan dan anak-anak memiliki bargaining position yang lemah dalam relasi kerja sehingga mudah terjerat penipuan atau bujuk rayu kelompok-kelompok mafia tenaga kerja. Meskipun demikian, laki-laki tetap menjadi korban TPPO dengan dieksploitasi sebagai anak buah kapal.

Sementara itu, modus operandi terbesar adalah dengan menjadikan korbannya sebagai pekerja seks komersial, yang pada awalnya ditawari iming-iming sebagai TKI yang akan dipekerjakan menjadi asisten rumah tangga, pelayan toko, dan sebagainya. Motif ini disambut dengan realita himpitan kondisi ekonomi, kondisi internal keluarga, dan rumitnya birokrasi yang seringkali membuat para calon pekerja memilih jalur ilegal. Cara yang digunakan pun beragam, yakni dengan paksaan, pornografi, janji untuk bekerja, janji program pertukaran pelajar, dan sebagainya. Apabila lingkupnya dipersempit, kejahatan yang merupakan bagian dari TPPO atau human trafficking ini dapat disebut sebagai sex trafficking. Hal ini mengacu pada pengertian sex trafficking menurut Trafficking Victims Protection Act of 2000 sebagai “perekrutan, penyembunyian, pengangkutan, penyediaan, perolehan, perlindungan, atau permintaan seseorang untuk tujuan tindakan seks komersial.”

Selain itu, didefinisikan pula oleh Sharedhope, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk melawan perdagangan seks, bahwa sex trafficking terjadi ketika seseorang memaksa atau menipu korban untuk melakukan tindakan seks komersial. Tindakan seks komersial dapat merupakan prostitusi, pornografi, dan tindakan seks lainnya, dalam transaksi untuk barang-barang berharga seperti uang, narkoba, tempat berlindung, makanan, atau pakaian. Beberapa kasus sex trafficking yang pernah terjadi di Indonesia, diantaranya Putusan Nomor 1498/Pid.Sus/2015/PN.Mks tentang eksploitasi seksual terhadap wanita-wanita yang kemudian dijual sebagai pekerja seks. Beberapa diantaranya bahkan terdapat anak di bawah umur. Kejadian perdagangan seks di Indonesia sangat tinggi karena permintaan yang begitu pula tinggi.

Pedagang seks mencari korban melalui sosial media, lingkungan sekitar rumah, bahkan lingkungan persekolahan dan memikat dan menipu korban melalui janji-janji palsu. Janji-janji ini kemudian disambut dengan harapan masa depan yang lebih baik lantaran para korbannya berada dalam himpitan ekonomi. Di antara para pelaku, tak jarang kita jumpai sex trafficker perempuan. Lantas apa yang melatar belakangi seorang perempuan menjadi sex trafficker yang notabene akan turut serta “memperdagangkan” sesama perempuan? Meskipun mayoritas trafficker yang diselidiki atau ditangkap, dituntut, dan/atau terpidana perdagangan orang adalah laki-laki yang terdiri lebih dari 60 persen dari total dalam tiga kategori, pada tahun 2018, 36 persen merupakan perempuan. Laporan UNODC menunjukkan pelaku perdagangan seks perempuan sangat aktif dalam fase perekrutan (fase tahap awal) pada proses perdagangan manusia. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya persepsi perempuan sebagai mayoritas korban eksploitasi seksual. Jika mereka terlibat sebagai pelaku, seringkali diasumsikan bahwa mereka sendiri atau pernah menjadi korban eksploitasi seksual. Secara cukup teratur, terjadi bahwa perempuan yang telah dieksploitasi secara seksual terlebih dahulu, kemudian bergabung dengan kemitraan kriminal dan mulai mengeksploitasi perempuan lain itu sendiri. Selain itu, seringkali ada hubungan romantis antara sebuah trafficker dan pekerja seks. Bagi perempuan- perempuan ini, transisi dari pekerjaan seks menjadi trafficker adalah salah satu cara untuk berhenti bekerja sebagai pekerja seks. Peran perempuan yang terlibat dalam perdagangan manusia dan eksploitasi seksual terutama dipandang sebagai istri atau pacar yang pelaku laki-laki.

Perempuan seringkali memiliki peran pendukung dan telah diinstruksikan oleh pasangan laki-lakinya untuk menggunakan feminitas dan “karakteristik perempuannya” ketika melakukan rekrutmen korban. Misalnya, perempuan dapat digunakan oleh laki-laki untuk memilih dan merekrut perempuan lain agar mereka bekerja sebagai pelacur. Asumsi di sini adalah bahwa perekrut wanita dapat lebih mudah mendapatkan kepercayaan daripada perekrut pria, hanya karena dia adalah seorang wanita. Perempuan-perempuan ini tidak hanya akan bekerja sebagai perekrut, tetapi juga sebagai semacam wali bagi para korban ketika mereka dipekerjakan di negara tujuan.

Untuk menekan laju kejahatan ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang ini mendefinisikan sex trafficking sebagai bagian dari Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang disebut sebagai eksploitasi seksual. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Terdapat beberapa indikator eksploitasi seksual, diantaranya adalah, pakaian korban bernuansa seksual, tidak fasih berbahasa setempat, tidak membawa identitas lengkap, selalu diawasi saat bepergian, tempat kerja berpindah-pindah, dan identitas palsu. Ketidakmampuan mereka untuk bebas dan pulang ke tempat asalnya akibat terjadi ketimpangan kuasa antara mereka sebagai pekerja dengan agen yang memegang semua identitas pribadinya, merupakan salah satu penyebab mengapa terjadi trauma psikis tersendiri bagi para korb

Apabila eksploitasi seksual ini diperkarakan di ranah hukum, maka akan terbongkarlah status “ilegal” yang disandang oleh para TKI. Dengan demikian, muncul persoalan baru yang lebih pelik terkait perlindungan hukum yang akan mereka dapatkan dari Indonesia ketika mereka berada di negara lain dengan status ilegal. Pasal 33 Undang-undang №18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja migran yang bekerja di luar negeri. Namun, dalam ketentuan umum undang-undang ini, pada pasal 1 poin 1 diberikan batasan mengenai pekerja migran, yakni terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian, UU ini tidak bisa melindungi TKI ilegal.

Meskipun demikian, pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mewajibkan negara untuk memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, seharusnya negara membuat suatu sistem perlindungan hukum bagi para TKI ilegal, terutama TKI wanita (TKW) yang menjadi korban sex trafficking.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, pasal 49 ayat 2 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM telah mengatur bahwa wanita (2) Wanita berhak atas perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Oleh karena itu, terlepas dari statusnya sebagai TKI ilegal, semua pekerja wanita berhak atas perlindungan hukum. Dengan demikian, meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, ada justifikasi mengenai perlindungan terhadap TKI ilegal wanita. Apalagi jika telah menjadi korban tindak pidana. Oleh karena itu, TKI ilegal memiliki hak untuk meminta perlindungan kepada kedutaan di negara yang ditempatinya dengan mendasarkan pada ketentuan pasal-pasal tersebut.

Jerat hukum terhadap para sex trafficker tetap berlaku, meskipun para korban telah setuju untuk menjadi TKI ilegal. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 26 UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yakni “Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.” Trauma emosional dan fisik, timbulnya rasa takut, kecemasan, depresi, rendahnya percaya diri, hingga tendensi bunuh diri merupakan beberapa masalah psikologis yang sering dialami oleh korban sex trafficking, terutama anak-anak dan wanita. Oleh karena itu, selain perlindungan hukum, diperlukan pendampingan psikologis kepada para korban.

Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat perdagangan orang, korban berhak atas rehabilitasi kesehatan yang meliputi pemulihan kondisi baik fisik maupun psikis, rehabilitasi sosial yang meliputi pemulihan kondisi mental dan keberfungsian sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah. Hak ini telah diatur dalam Pasal 51–53 UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Adanya rehabilitasi ini bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial korban sex trafficking agar dapat kembali berperan akhir dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, dalam pemberian rehabilitasi ini diperlukan Kerjasama pemerintah dengan masyarakat yang melibatkan berbagai profesi maupun disiplin ilmu (Hikmawati. 2010, hal:38).

Rekomendasi

Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan, yakni sebagai berikut.

  • Memberikan edukasi kepada calon pekerja migran agar mengikuti prosedur keberangkatan dan kepulangan sesuai hukum Indonesia yang berlaku.
  • Memberikan kemudahan birokrasi, pelayanan, dan meningkatkan pemantauan terhadap para pekerja migran.
  • Mengidentifikasi dan menanggapi eksploitasi seksual komersial dan perdagangan seks.
  • Memfasilitasi pemulangan para korban ke tanah air serta melindungi para pengungsi yang kembali dan pengungsi korban perdagangan orang.
  • Memberi bantuan medis dalam bentuk pencegahan dan bantuan untuk HIV/AIDS dan penyakit menular seksual merupakan bagian integral dari program bantuan. Alat ini memeriksa jenis bantuan medis yang biasanya dibutuhkan korban.
  • Mempertimbangan bahasa dan budaya dalam memberikan layanan dan memberikan informasi kepada korban perdagangan manusia. Karena mayoritas korban perdagangan adalah cenderung mencari bantuan di negara tujuan, di mana budaya dan bahasa yang dominan berada bukan milik mereka sendiri, masalah-masalah ini adalah masalah yang signifikan untuk penyediaan dukungan dan bantuan.
  • Memberi bantuan rehabilitasi, keterampilan pelatihan dan pendidikan sebagai bagian dari upaya reintegrasi korban.
  • Korban perdagangan orang berhak menerima reparations dari pelaku perdagangan orang untuk kerugian fisik atau mental yang mereka derita atau untuk tenaga kerja atau layanan yang tidak dibayar yang mereka terima dipaksa untuk tampil.
  • Menghapus diskriminasi berbasis gender dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi untuk perempuan. Perempuan didiskriminasi dalam hal upah dan akses ke pasar tenaga kerja dan pelatihan kejuruan yang dapat dipasarkan. Hal ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi oleh pedagang manusia. PERANGKAT 9.7 Kerjasama bilateral dan multilateral untuk mencegah perdagangan orang.

Kesimpulan

Sekitar setengah dari korban perdagangan manusia yang terdeteksi pada daerah Asia Timur dan Pasifik adalah wanita dewasa dan terus diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Dalam proses untuk mencari kehidupan yang lebih baik dengan mencari pekerjaan di luar negeri, banyak yang rentan menjadi korban eksploitasi seksual karena kekurangan uang, pendidikan, kendala bahasa, dan kekuasaan. Perempuan-perempuan ini sering datang secara ilegal karena sulit mendapatkan dokumen yang layak karena proses birokrasi yang panjang, rumit, dan mahal. Meskipun demikian, mereka tetap layak dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kerena, hanya dengan upaya bersama oleh pemerintah, perusahaan swasta, organisasi non-pemerintah, dan di atas semua masyarakat, kita dapat berharap untuk mengakhiri perdagangan manusia secara keseluruhan.

Referensi :

Forster, A.B., “Human Trafficking: A Transnational Organized Criminal Activity”, American International Journal of Contemporary Research 3, no. 1 (January, 2013)

Kusmanto, T.Y., “Trafficking: Sisi Buram Migrasi Internasional”, Sawwa: Jurnal Studi Gender 9, no. 2 (2014): 232

Prabandari, E., “Pelaksanaan Proses Konseling pada Rehabilitasi Psikososial terhadap Wanita yang Menjadi Korban Trafficking (Studi Kasus pada Tiga Wanita Korban Trafficking di Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus, Jakarta)” (Skripsi Program Sarjana, Universitas Indonesia, 2012), 6

Rafferty, Y., “Children for sale: Child trafficking in Southeast Asia”, Child Abuse Review 16, no. 6 (November, 2007): 401–422, doi: 10.1002/car.1009

Vela, J.A., Kejaksaan Agung RI, Counter Trafficking and Labour Migration Unit, International Organization for Migration (IOM) Indonesia. Panduan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (Jakarta: International Organization for Migration (IOM), 2021), 7–54

Zimic, S. Z.,“Sex Trafficking: The State, Security, Criminality, Morality, and The Victim”. Women and Trafficking, (2004)14.

--

--

HopeHelps UGM

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Cepat Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di UGM 📩: advokasi.hopehelps.ugm@gmail.com 📞: 082110100451